MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
(
MPR )
Makalah Ini Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara II
Dengan Dosen Pengampu Iswanto,
S.H, M.Hum
Oleh
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
SURAKARTA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti kita ketahui bersama MPR hasil
pemilihan umum Tahun 1999, menindaklanjuti tuntutan reformasi yang menghendaki
perubahan UUD 1945 dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam
empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai
dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
Perubahan
UUD 1945 tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental
ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi
dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa kini dan yang akan
datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup
panjang. Selain itu, perubahan UUD 1945 tersebut juga dimaksudkan untuk
meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu
kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara yang diberikan
kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. 1Undang-Undang Dasar merupakan
hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya
menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power)
kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden,
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),
dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dinyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan rumusan itu dimaksudkan,
bahwa kedaulatan itu pada hakekatnya tetap melekat dan berada di tangan rakyat,
dan Undang-Undang Dasar yang mengatur pelaksanaannya. Sebagian kedaulatan itu
tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat, yaitu dalam hal memilih
Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang kemudian juga menetapkan, rakyat tetap
memegang kedaulatannya secara langsung, yaitu dalam hal memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur, memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota. Untuk selebihnya Undang-Undang Dasar menetapkan dibentuknya
lembaga-lembaga negara (DPR, MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan kepada
masing-masing lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan kewenangannya
sesuai dengan posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga negara itu berada dalam
kedudukan yang setara. Antara lembaga yang satu dengan yang lain dilaksanakan
prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi atau checks and balances.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana Posisi MPR dalam Struktur Ketatanegaraan
RI ?
2. Bagaimana Tugas dan Wewenang MPR ?
3. Apa saja Hak dan Kewajiban Anggota MPR
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Posisi MPR dalam Struktur
Ketatanegaraan RI
1. Menurut UUD
1945 sebelum perubahan
Majelis
Permusyawratan Rakyat (MPR) sebagai sebuah nama dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia sudah ada sejak lahirnya negara ini. Pada awal disahkannya
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 MPR memiliki posisi sebagai lembaga
negara tertinggi. Sebagai lembaga negara tertinggi saat itu MPR ditetapkan
dalam UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan
rakyat MPR mempunyai wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden untuk jangka waktu 5 (lima) tahunan. Oleh karena mempunyai wewenang
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka MPR mempunyai wewenang
pula memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebelum masa jabatannya
berakhir apabila Presiden dan Wakil Presiden dianggap melanggar haluan negara.
Pasal
2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa MPR terdiri atas
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dari
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini dapat dikatakan bahwa MPR merupakan
perluasan dari DPR setelah ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.3 Namun
demikian ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini juga menimbulkan pertanyaan
dikarenakan dalam penjelasan UUD 1945 tidak diuraikan secara jelas, sehingga
pertanyaan yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan daerah-daerah dan
golongan-golongan. Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang menjelaskan hal
tersebut, namun dalam Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 hanyalah menjelaskan tentang
golongan-golongan yang diuraikan sebagai berikut: ”Maksudnya ialah supaya
seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam
Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai
penjelmaan rakyat.” ”Yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti
kooperasi, serikat pekerja dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang
sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan sistem
kooperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan
dalam badan-badan ekonomi.” Menurut Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan
dinyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar dari pada haluan
negara. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan
tersebut dapat diketahui siapa saja anggota MPR itu dan apa kewenangan MPR itu,
namun dari kedua pasal tersebut belumlah nampak kedudukan MPR itu sendiri. Hal
ini akan nampak bila dikaitkan dengan ketentuan pasal-pasal UUD 1945 yang lain,
antara lain:
ü Pasal
6 ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR
dengan suara yang terbanyak.
ü Pasal
1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan
demikian nampaklah bahwa MPR menurut UUD 1945 sebelum perubahan merupakan
lembaga negara tertinggi dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bahkan Penjelasan UUD 1945 dalam Sistem Pemerintahan Negara angka Romawi III
dinyatakan bahwa ”Kekuasaan negara tertinggi ada di tangan MPR. Kedaulatan
rakyat dipegang oleh badan bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan menetapkan garis-garis
besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil
Kepala Negara (wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara
yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat
oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah
’mandataris’ dari majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis.
Presiden tidak ’neben’, akan tetapi ’untergeordnet’ kepada Majelis”. Sebagai
lembaga negara tertinggi menjadikan kekuasaan MPR berada di atas segala
kekuasaan lembaga-lembaga negara yang ada di negara Republik Indonesia. Hal ini
sebenarnya dapat dipahami, sebab MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat Republik
Indonesia, dan sejak didirikan oleh founding fathers Republik Indonesia
memanglah dikonstruksikan sebagai negara demokrasi, yaitu bahwa negara dimana
kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Kekuasaan rakyat inilah yang
dijelmakan MPR. Oleh karenanya seluruh anggota MPR merupakan wakil-wakil rakyat
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam struktur ketetanegaraan
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, MPR
sebagai lembaga negara tertinggi menetapkan kebijakan tentang garis-garis besar
dari pada haluan negara4, dan melalui garis-garis besar dari pada haluan negara
ini pemerintahan dijalankan. Garis-garis besar dari pada haluan negara
merupakan pedoman pemerintah (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Jadi Presiden dalam menjalankan pemeritahan berpedoman pada garis-garis besar
haluan negara yang ditetapkan oleh MPR. Apabila Presiden melanggar garis-garis
besar haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, maka Presiden dapat diberhentikan
oleh MPR. Hal ini dianggap wajar sebab Presiden adalah mandataris MPR,
maksudnya MPR memberikan mandat kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan,
bila Presiden melanggar mandat yang diberikan oleh rakyat maka rakyat dapat
memberhentikan Presiden.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga yang dilontarkan oleh Ir. Soekarno
pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945, sebuah keinginan untuk menjelmakan aspirasi
rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan
Rakyat.5 Soepomo juga mengemukakan gagasannya yang mendasarkan pada prinsip
musyawarah dengan istilah ”Badan Permusyawaratan” pada dasar Indonesia merdeka.
Indonesia yang akan berdiri tidak bersistem individualisme seperti pada
negara-negara Barat, tetapi berdasar pada kekeluargaan. Kekeluargaan yang
dimaksudkan Soepomo yakni bahwa warganegara merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan pemegang kekuasaan di dalam negara atau dengan istilah ”manunggale
kawulo gusti”. Warga negara tidak dalam kedudukan bertanya apa hak saya
dengan adanya negara tetapi yang harus selalu ditanyakan adalah apa kewajiban
saya terhadap negara. Dalam konstruksi yang demikian diharapkan dalam
penyelesaian masalah-masalah yang terjadi dalam negara akan diselesaikan atas
dasar kebersamaan dan musyawarah antara rakyat dengan penguasa, dan badan
permusyawaratan sebagai wakil-wakil rakyat yang paling berperan dalam hal ini,
sedangkan kepala negara akan senantiasa mengetahui dan merasakan keadilan
rakyat dan cita-cita rakyat.
2. Menurut UUD
1945 setelah perubahan
Gagasan terhadap
perubahan UUD 1945 muncul bersamaan dengan gerakan reformasi di segala bidang
yang menentang rezim pemerintahan Suharto yang dianggap telah menyimpang dari
substansi isi UUD 1945 melalui penafsiran sepihak penguasa. Dari alasan inilah
agar isi UUD 1945 tidak menimbulkan penafsiran yang dapat digunakan oleh
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan seperti masa pemerintahan Suharto, maka
pembenahan terhadap isi UUD 1945 perlu dilakukan. Inilah yang menjadi salah
satu agenda reformasi yaitu melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan salah
satu latar belakang perubahannya adalah meninjau kembali tentang kekuasaan
tertinggi di tangan MPR.
Dampak reformasi telah dirasakan
terhadap kedudukan lembaga MPR, dan bahkan ada yang menyatakan sebagai salah
satu lompatan besar perubahan UUD 1945 yaitu restrukturisasi MPR untuk
’memulihkan’ kedaulatan rakyat dengan mengubah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dari
kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Dalam
perubahan UUD 1945, MPR tetap dipertahankan keberadaannya dan diposisikan
sebagai lembaga negara, namun kedudukannya bukan lagi sebagai lembaga tertinggi
(supreme body) tetapi sebagai lembaga negara yang sejajar posisinya
dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Predikat MPR yang selama ini berposisi
sebagai lembaga tertinggi negara telah dihapuskan (die gezamte staatgewalt
liegi allein bei der Majelis). MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga
penjelmaan kedaulatan rakyat, hal ini dikarenakan pengalaman sejarah selama
Orde Baru lembaga MPR telah terkooptasi kekuasaan eksekutif Suharto yang amat
kuat yang menjadikan MPR hanyalah sebagai ’pengemban stempel’ penguasa dengan
berlindung pada hasil pemilihan umum yang secara rutin setiap 5 tahun sekali
telah dilaksanakan dengan bebas, umum dan rahasia. Dari pengalaman sejarah
pemerintahan Orde Baru itulah reposisi MPR perlu dilakukan. Perubahan mendasar
dari MPR yang semula sebagai lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat menjadi
lembaga yang oleh sementara pihak disebut sebagai sebatas sidang gabungan (joint
session) antara anggota DPR dan anggota DPD. Yang perlu mendapat catatan
terhadap posisi MPR setelah perubahan UUD 1945 adalah bahwa kewenangan MPR
menjadi dipersempit, maksudnya MPR hanyalah memiliki satu kewenangan rutin
yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum,
selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR, seperti memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar
(Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 Perubahan), mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan) serta kewenangan insidental lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.
Perbedaan kewenangan rutin dengan kewenangan insidental ini adalah bahwa
kewenangan rutin pasti dilaksanakan yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali,
sedangkan kewenangan insidental akan dilaksanakan jika terjadi sesuatu hal
yakni bila ada keinginan untuk merubah UUD ataupun bila terjadi Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau sudah tidak
dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dengan
reposisi MPR setelah perubahan UUD 1945, MPR sendiri memiliki kedudukan yang
tidak jelas apakah sebagai permanen body (lembaga tetap) ataukah sebagai
joint session (lembaga gabungan). Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD
1945 (Perubahan) dinyatakan bahwa MPR terdiri atas aggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini memposisikan bahwa MPR merupakan
gabungan anggota DPR dan anggota DPD (joint session) bukan gabungan
lembaga DPR dan lembaga DPD (bukan terdiri dari dua kamar atau bukan
bikameral). Namun menjadi tidak jelas lagi jika merupakan gabungan anggota DPR
dan anggota DPD yang berarti memiliki kewenangan gabungan dari kewenangan
anggota DPR ditambah dengan kewenangan anggota DPD dan itulah yang seharusnya
menjadi kewenangan MPR, tetapi dalam ketentuan Pasal 3 UUD 1945 (Perubahan)
diuraikan bahwa kewenangan MPR bukanlah gabungan dari kewenangan anggota DPR
dan kewenangan anggota DPD. Jadi merupakan kewenangan tersendiri sebagai
lembaga tetap/permanen body.
Oleh
karenanya posisi MPR tidaklah sepenuhnya dapat dikatakan sebagai joint
session maupun sebagai permanen body. Inilah posisi MPR dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 Perubahan, dan dengan posisi
demikian sebenarnya tidaklah perlu diperebutkan adanya ketua MPR. MPR bukanlah
sebuah lembaga tetap ataupun lembaga gabungan tetapi lebih diposisikan sebagai
sebuah kumpulan wakil-wakil rakyat yang mengatasnamakan majelis rakyat. Dengan
demikian seharusnya ketua MPR dapat dijabat secara kolegial dari Ketua DPR dan
Ketua DPD yang secara riel tugas dan kerjanya hanyalah saat kedua anggota itu
(DPR dan DPD) bergabung melaksanakan kewenangannya, dan hal itu tidaklah
dilakukan untuk kerja keseharian. Kerja keseharian ketua MPR tidaklah ada,
hanyalah mengada-ada. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan fungsi MPR saat ini,
bahwa dengan reposisi MPR sesuai Perubahan UUD 1945 ada pelemahan fungsi MPR
sebagai lembaga negara, karena fungsi MPR saat ini hanyalah tergantung dari
peristiwa-peristiwa insidental yang mungkin terjadi dan kemauan anggota DPR dan
anggota DPD. Kerja keseharian MPR tidaklah ada dan hampir tidak ada. Rutinitas
kerja MPR hanyalah setiap lima tahun sekali untuk melantik Presiden dan Wakil
Presiden terpilih hasil pemiilihan umum. MPR bukanlah lembaga yang berfungsi
meminta pertanggungjawaban atas kerja Presiden, karena Presiden bukanlah
mandataris MPR. Keberadaan MPR secara yuridis ada menurut UUD 1945, namun
secara riel sehari-hari MPR tidak ada jika anggota DPR dan anggota DPD tidak
bergabung. MPR bak ”makhluk jin” yang keberadaannya diakui, namun wujudnya akan
menampakkan diri manakala dipenuhi persyaratan tertentu. Itulah MPR saat ini,
antara tiada dan ada. Jika demikian, maka akan lebih baik jika MPR dibubarkan
saja seperti DPA (Dewan Pertimbangan Agung).
B. Tugas dan Wewenang MPR
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR
tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Usul pengubahan pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh
sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul
pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang
diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan
persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang
disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh)
hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR
mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk
membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak
memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul
pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika
pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan,
pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam
puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi
kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat
memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah
anggota ditambah 1 (satu) anggota.
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil
pemilihan umum
MPR
melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara
terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh
MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November
2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
3. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR
hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR
wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi
dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan
MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam
sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota yang hadir.
4. Melantik
Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika
terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR
tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak
dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan
Mahkamah Agung.
5. Memilih Wakil Presiden
Dalam hal
terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2
(dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan
Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
6. Memilih
Presiden dan Wakil Presiden
Apabila
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam hal
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan
secara bersama-sama.
C. Hak dan kewajiban anggota
ü Hak anggota
- Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
- Memilih dan dipilih.
- Membela diri.
- Imunitas.
- Protokoler.
- Keuangan dan administratif.
ü Kewajiban anggota
- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
- Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam benak rakyat Indonesia sudah sangat dikenal
dan melekat di hati sanubari hampir seluruh rakyat Indonesia. Keberadaan MPR
sudah dikumandangkan sejak berdirinya Republik ini dan secara resmi telah
disebut dalam UUD 1945. Pada awalnya MPR diposisikan sebagai lembaga
representatif penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang kedaulatan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR berwenang
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya Presiden
bertanggungjawab kepada MPR karena Presiden sebagai mandataris MPR. Lembaga ini
juga berwenang merubah dan menetapkan undang-undang dasar, serta menetapkan
garis-garis besar haluan negara.
Pada
masa reformasi, posisi MPR telah mengalami reposisi dengan dilakukannya
perubahan UUD 1945. MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara
tetapi berkedudukan sebagai lembaga negara yang statusnya menjadi tidak jelas
antara sebagai joint session ataukah permanent body. MPR hanyalah
sebuah perkumpulan anggota DPR dan anggota DPD yang terjadi secara rutin untuk
5 tahun sekali atau bila ada kejadian-kejadian insidental yang menyangkut
penyimpangan tugas yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasar
Undang-Undang Dasar atau bila terjadi hal yang menyebabkan tidak berfungsinya
Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti sebab berhalangan tetap atau sudah
tidak memenuhi syarat lagi. Kewenangan MPR yang lain yang masih dipertahankan
adalah MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar. Kewenangan
MPR inipun sifatnya insidental, artinya tidak secara rutin dilakukan dan hanya
bila ada kemauan politik saja untuk menjalankan kewenangan ini. Dengan demikian
tugas rutin MPR hanyalah dilakukan setiap 5 tahun sekali, dan tugas kesehariannya
tidak ada, oleh karenanya diusulkan agar MPR dibubarkan saja seperti halnya
DPA.
DAFTAR PUSTAKA
Astim Riyanto (2007), Kapita Selekta Hukum Dalam Dinamika,
YAPEMDO, Bandung. Juniarto (1990), Demokrasi dan Sistem Pemerintahan
Negara, Rineka Cipta, Jakarta. Samsul Wahidin (1986), MPR RI dari Masa
ke Masa, Bina Aksara, Jakarta. Surat kabar “Media Indonesia 23 Juli 2003”.
makalahnya membantu gan thanks.......
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus