Jumat, 15 Februari 2013

CONTOH SURAT KUASA KHUSUS


images.jpgKANTOR  ADVOKAT
“ menang terus“
SK.MENTERI KEHAKIMAN&HAM RI NO:D.123.KP.01.12TH1993
JALAN  MERDEKA  NO 30,SURAKARTA,TELP./FAX (0271) 232323

SURAT KUASA  KHUSUS
Nomer : 121/SKK/G.PDT/2010

Yang bertandatangan di bawah ini :

            Nama                           : SENO DUADJI
            Umur                           : 45 th
            Kewarganegaraan        : Indonesia
            Pekerjaan                     : Pegawai Negeri Sipil
Alamat                         : Jalan Kembang Perawan  No 8 ,Surakarta

Untuk selanjutnya  disebut  sebagai pemberi kuasa , yang dalam hal ini  telah  menunjuk   domicili   hukum kepada kuasa saya  seperti tersebut dibawah ini dengan  memberikan kuasa kepada :

Nama   : 1. iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, S.H.,M.H
              2. bbbbbbbbbbbbbbbbbb, S.H. M.H
              3. aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,S.H.,M.H
Kesemuanya adalah Advokad pada kantor Adovokad “ MENANG TERUS “ yang berkantor  di Jln.Merdeka No.30, Surakarta.
Dalam hal ini  baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama .

KHUSUS
Untuk  menjadi kuasa hukum kami / menyatakan  hak – hak kami  , serta  memperjuangkan  kepentingan – kepentingan  kami menurut  hukum dalam  perkara : PERDATA
            Sebagai                            : Kuasa Hukum Penggugat
Untuk                   : Mewakili Pemberi Kuasa  mengajukan  Gugatan Perbuatan Melawan   Hukum  terhadap nama GAYUS TUMBUHAN yang beralamat  di Jalan Pringgondani No 12 Surakarta .
Pada                    : Pengadilan Negeri Surakarta

Untuk itu Pemegang Kuasa ini kami berikan  wewenang untuk : mengahadap dan berbicara  di depan Pejabat instansi  Pemerintah  maupun swasta , membaca berkas perkara , membuat surat – surat  serta menandatangani  surat tersebut , mengajukan  permohonan – permohonan yang baik  dan berguna  bagi pemberi kuasa , menjawab dan membantah  hal – hal yang tidak  benar , mengajukan bukti – bukti  surat  dan saksi  sehubungan  dengan perkara tersebut , mengusahakan perdamaian  serta menandatangani  akta perdamaian .Pada pokoknya  pemegang kuasa ini  diberi wewenang  segala sesuatu  yang baik  dan berguna  bagi pemberi kuasa  sehubungan perkara tersebut  serta dapat dibenarkan  menurut hukum acara .

Pemberian kuasa ini  diberikan  dengan  hak subtitusi  sebagian  atau seluruhnya  kepada orang lain .


                                                                                           Surakarta, 9 Mei 2010

Penerima Kuasa                                                                                         Pemberi Kuasa,


MATERAI 6000
 
 



  iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, S.H.,M.H                                                                            SENO DUADJI    



     bbbbbbbbbbbbbbbbb, S.H. M.H



aaaaaaaaaaaaaaaaa,S.H.,M.H

SURAT GUGATAN


images.jpgKANTOR  ADVOKAT
“ MENANG TERUS “
SK.MENTERI KEHAKIMAN&HAM RI NO:D.123.KP.01.12TH1993
JALAN  MERDEKA  NO 30,SURAKARTA,TELP./FAX (0271) 232323
 

Surakarta, 10 Mei 2010
Hal      :  Gugatan Melawan Hukum
   Dan Tuntutan Ganti Rugi
Lamp   :  Surat Kuasa Khusus


Kepada Yang Terhormat,
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta
Di Surakarta


Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama   : 1. wwwwwwwwwwwwwww, S.H.,M.H
              2. qqqqqqqqqqqqqqqqqqqqq, S.H. M.H
              3. vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv,S.H.,M.H
Kesemuanya adalah Advokad pada kantor Advokat ”Menang Terus” yang beralamat di Jln.Merdeka No.30, Surakarta. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 9 Mei 2010  bertindak untuk dan atas nama :
Nama                           : SENO DUADJI
            Umur                           : 45 th
            Kewarganegaraan        : Indonesia
            Pekerjaan                     : Pegawai Negeri Sipil
Alamat                         : Jalan Kembang Perawan  No 8 ,Surakarta

Selanjutnya mohon disebut sebagai :
--------------------------------------------PENGGUGAT--------------------------------------

Dengan ini mengajukan gugatan Melanggar Hukum dan Tuntutan Ganti Kerugian terhadap :
Nama                           : GAYUS TUMBUHAN
            Kewarganegaraan        : Indonesia
           
Alamat                         : Jalan Pringgondani No 12 Surakarta
Selanjutnya mohon disebut sebagai :
---------------------------------------------TERGUGAT--------------------------------------

Gugatan ini kami ajukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Bahwa pada awal bulan Februari tahun 2008 Penggugat melalui perantara seorang teman dikenalkan kepada ANGGODO ayah Tergugat dengan maksud ingin membeli tanah yang menjadi obyek sengketa;
  2. Bahwa pada tanggal 19  Februari 2008 Penggugat membuat perjanjian jual beli tanah dengan ANGGODO ayah Tergugat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Artalita Avantie,S.H yang berkantor di Jalan Mangga Muda No.2 Surakarta dengan obyek tanah yang di atasnya didirikan bangunan rumah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 234 seluas 400 m2 yang terletak di Jalan Pringgondani No 12 Surakarta dengan harga sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
  3. Bahwa dalam perjanjian jual beli tersebut terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pembayaran akan dilakukan dua kali. Pembayaran pertama merupakan uang muka sebesar Rp 250.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang dibayar saat perjanjian ditandatangani dan sisanya yaitu sebesar Rp 250.00.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar 2 (dua) minggu setelah perjanjian ditandatangani yaitu pada tanggal 5 Maret 2008. Dalam waktu paling lambat 1 (satu) minggu setelah pembayaran yaitu tanggal 12 Maret 2008 harus dilakukan proses balik nama SHM Nomor 234 atas nama ANGGODO menjadi atas nama Penggugat yang menjadi tanggung jawab ANGGODO ayah Tergugat;
  4. Bahwa pada tanggal 19 Februari 2008 Penggugat membayar uang muka sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada ANGGODO ayah Tergugat dibuktikan dengan kuitansi pembayaran;
  5. Bahwa pada tanggal 5 Maret 2008 Penggugat belum dapat melunasi sisa pembayaran sehingga berdasarkan kesepakatan antara ayah Tergugat dan Penggugat pelunasan pembayaran akan dilakukan 1 (satu) minggu setelah tanggal tersebut yaitu pada tanggal 12 Maret 2008, dan proses balik nama SHM Nomor 234 akan dilakukan paling lambat 1 (satu) minggu setelah pelunasan pembayaran yaitu pada tanggal 19 Maret 2008 oleh ayah Tergugat;
  6. Bahwa pada tanggal 12 Maret 2008 Penggugat melunasi sisa pembayaran sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada ANGGODO Ayah Tergugat dibuktikan dengan kuitansi pembayaran;
  7. Bahwa pada tanggal 15 Maret 2008 Penggugat berangkat ke Surabaya karena pindah tugas;
  8. Bahwa pada tanggal 17 Januari 2009 ayah Tergugat meninggal dunia, kemudian tanah obyek sengketa ditempati oleh Tergugat dan istrinya;
  9. Bahwa setelah ayah Tergugat meninggal dunia, Penggugat berulang kali menghubungi Tergugat selaku ahli waris melalui telepon untuk menanyakan tentang Sertifikat Hak atas Tanah yang dibelinya, tetapi Tergugat selalu menolak untuk membicarakannya;
  10. Bahwa pada tanggal 27 April 2010 Penggugat kembali ke Surakarta dan bermaksud meminta SHM Nomor 234 kepada Tergugat selaku ahli waris dari ANGGODO dan bermaksud untuk menempati obyek sengketa sehingga meminta kepada Tergugat untuk meninggalkan rumah tersebut;
  11. Bahwa Tergugat menolak untuk pindah dari rumah tersebut dengan alasan rumah tersebut masih menjadi miliknya berdasarkan SHM Nomor 234 yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan rumah atas nama ANGGODO ayah Tergugat belum atas nama Penggugat;
  12. Bahwa pada tanggal 29 April 2010 untuk kedua kalinya Penggugat menemui Teggugat dengan membawa bukti perjanjian jual beli tanah dan rumah obyek sengketa beserta kuitansi pembayaran yang menyatakan bahwa pembayaran telah lunas, tetapi Tergugat tidak mengindahkannya dengan alasan bahwa tidak tahu rumah tesebut telah dijual oleh ayahnya;
  13. Bahwa pada tanggal 1 Mei 2010 Penggugat menemui Tergugat dengan maksud untuk membicarakan dengan baik-baik supaya Tergugat mau pindah dari rumah obyek sengketa tersebut, tetapi Tergugat marah dan memaki-maki Penggugat serta mengusir Penggugat dihadapan tetangga-tetangga Tergugat;
  14. Bahwa pada tanggal 3 Mei 2010 Penggugat kembali menemui Tergugat bersama seorang temannya yang bernama Tigor Sirajaguguk untuk memperingatkan supaya Tergugat segera pindah dari obyek sengketa, tetapi Tergugat mendorong tubuh Penggugat sehingga jatuh dan mengalami luka di bagian kepala karena terbentur batu dan memar di sebagian tubuhnya;
  15. Bahwa akibat perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat harus menjalani pengobatan di Rumah Sakit dan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 15.000.000,00 untuk pengobatan;
  16. Bahwa tindakan Tergugat merupakan tindakan melawan hukum sesuai rumusan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa ” tiap perbuatan  melanggar hukum yang membawa kerugian kepada  seorang lain, mewajibkan  orang  yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”;
  17. Bahwa akibat perbuatan Tergugat, Penggugat telah mengalami kerugian materiil dan immateriil sebesar Rp 115.000.000,00 (seratus lima belas juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut :
– Kerugian Materiil      : Biaya pengobatan Penggugat sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
– Kerugian Immaterial :  Penggugat mengalami rasa sakit, tidak dapat bekerja selama pengobatan, dan rasa malu, sehingga layaknya jika kerugian immateriil Penggugat dinilai sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
  1. Bahwa agar gugatan ini tidak Ilusor dan menjamin pelaksanaan putusan ini, maka Kami mohon agar diletakkan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan dengan SHM Nomor 234;
  2. Bahwa gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti otentik yang tidak dapat lagi dibantah dan dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, sehingga Kami mohon agar putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum Verzet, Banding, atau Kasasi (Uit Verbaar Bij Vooraad);
  3. Penggugat telah berulang kali meminta Tergugat untuk mengganti kerugian kepada Penggugat namun selalu ditolak, sehingga tidak ada jalan lain bagi Penggugat selain mengajukan gugatan;

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Kami mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menerima, memeriksa, dan mengabulkan gugatan kami sebagai berikut :

PRIMER
  1. Menerima dan mengabulkan seluruh gugatan Penggugat;
  2. Menetapkan pembatalan atas SHM Nomor 234;
  3. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap tanah dan bangunan dengan SHM  Nomor 234;
  4. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  5. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 115.000.000,- kepada Penggugat;
  6. Menyatakan Putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (Uit Verbaar Bij Vooraad)  meskipun ada upaya hukum Verzet, Banding, Atau Kasasi;
  7. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara ini.

SUBSIDER
Mohon putusan seadil-adilnya.

Demikian gugatan ini Kami ajukan, atas perhatian dan dikabulkannya gugatan ini Kami ucapkan terima kasih.


Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat,



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxH        xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx       xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

contoh Makalah hukum Pajak


MAKALAH
HUKUM PAJAK DAN RETRIBUSI
TENTANG
“PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN PAJAK”
UMS.jpg
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Retribusi
Dengan Dosen Pengampu Salman Alfarizy, S.H.,M.Kn

OLEH
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
C100100144 ( B )





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri.
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara.
Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah.
Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan kehidupan dan kegiatannya, sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai pengawas, pembina dan penyedia fasilitas. Salah satu tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia adalah penerapan sistem pemungutan pajak self assessment sebagai pengganti official assesment.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.
Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia, peranan positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya (tax compliance) menjadi semakin mutlak diperlukan.
Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.
Melihat dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh kepatuhan Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh pelaksanaan pajak. Hal tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang akan membahas sekilas tentang PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN PAJAK” yang akan Penulis tuangkan dalam Bab Pembahasan.
B.     Rumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
 Adapun rumusan masalah dalam makalah  ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Self Assessment System di Indonesia, beserta dengan keuntungan dan kerugiannya ?
2.      Bagaimana Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan?
3.      Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB ?

















B A B II
P E M B A H A S A N

A.         Self Assessment System di Indonesia     
            Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official assessment system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang. Perbedaan antara official assessment system dan self assessment system dapat dilihat pada
Tabel 1.
Perbedaan Official Assessment System dan Self Assessment System

OFFICIAL ASSESSMENT SYSTEM
SELF ASSESSMENT SYSTEM
Wewenang menentukan Pajak terutang
Besarnya pajak terutang ditentukan
oleh Fiskus

Besarnya pajak terutang ditentukan
oleh Wajib Pajak
Peran Wajib Pajak
Wajib Pajak bersifat pasif
Wajib Pajak bersifat aktif
Peran Fiskus
Fiskus bertindak aktif
Fiskus hanya bertindak sebagai fasilitator
Timbulnya pajak terutang
Timbul karena dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak (SKP) oleh Fiskus
Timbul karena UU dan karena terjadinya
keadaan atau perbuatan
Sumber: Mardiasmo (2003)


Self assessment system merupakan suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Wajib Pajak diberi tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan. Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan dan atas dasar fungsi penghitungan Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).       Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain, 2003). Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: (1) Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan, dan (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.
Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya kewajiban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak. Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui kebenarannya sebelum Dirjen Pajak dapat membuktikan yang sebaliknya, karena didalam asas self assessment ada unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka sebagai konsekwensinya Dirjen Pajak harus menciptakan sistem kontrol secara memadai, sebab pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan wewenang.
            Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan bukan obyek pajak, atau harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undan No. 16 tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keteranganketerangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
            Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan  jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) fungsi SPTadalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Pengisian SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang bayar sehingga akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat dan tidak menyampaikan SPTnya akan dikenakan sanksi administrasi yaitu:
a.   Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
c.    Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang baya.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan, Mardiasmo (2003).
Fungsi dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib Pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna ganda, dan tidak terlalu sering berubah (Tarjo dan Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus disampaikan kepada Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah.
            Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya (Sadhani, 2004).
   Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan self assessment system berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana ciri-ciri self assessment system adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungaanya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak.

Adapun ciri self assessment system  yang lainnya adalah sebagai berikut:
  1. Wajib pajak melakukan peran aktif dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
  2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
  3. Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.    
Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Self assessment system dapat ditentukan dengan cara:
1.      Kepatuhan, kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah faktor paling dominan dalam metode ini karena kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan untuk menghindari kecurangan yang dilakukan wajib pajak.
2.      Kurang bayar dan lebih bayar pajak, kurang bayar pajak terjadi karena jumlah pajak yang dibayar lebih kecil daripada jumlah pajak terutangnya sedangkan lebih bayar pajak terjadi karena jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak terutangnya.
3.      Menyetor, menghitung, dan melaporkan pajak merupakan rangakaian dalam kegiatan unutk melaksankan kewajiban perpakannya. 


B.         Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah positif atau negatif.
Menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, memotong atau memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”.
Menurut Waluyo dalam bukunya Perpajakan Indonesia adalah:
“ Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (Self Assessment System), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh Wajib Pajak”.
Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang keliru terhadap kedua Undang-undang itu.

C.         Penerapan Sistem Self Assesment Dalam Pemungutan BPHTB.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan Lainnya.
            Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”. (BPHTB Pasal 10 ayat 1 ) Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabatpejabat
umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut:
     BPHTB      = Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%

Sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai besarnya Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan dalam ayat (2) memuat bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh beberapa orang tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan pajak pratama Surakarta.

1.         Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi 5 (lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan Banjarsari. Lokasi KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim Nomor 1 Surakarta 57147, telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) orang tenaga paramedis.
b.  Lapangan tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai dengan nama KPN Direktorat Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil DJP Jawa Tengah II.
d. Mushola yang teletak di belakang kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e.  Kantin yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak luar dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü  Kepala Kantor
ü  Kelompok Jabatan Fungsional
ü  Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü  Sie Ekstensifikasi
ü  Sie Waskon IV
ü  Sie PDI
ü  Sie Pemeriksaan
ü  Sie Pelayanan
ü  Sie Penagihan
ü  Sie Waskon I
ü  Sie Waskon II

ANALISIS
            Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang penerapan sistem self assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system sebagai salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan oleh perbuatan hukum jual-beli.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta, dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
 Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :
BPHTB           = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%

( Sumber : KPP Pratama Surakarta)

            Untuk lebih jelasnya penulis akan  memberikan contoh penghitungan BPHTB kota Surakarta.
Contoh :
1.         Pada tanggal 7 Maret 2012, Bapak Bambang membeli sebidang tanah yang terletak di Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Bambang tsb adalah : 5% x (50.000.000- 20.000.000) = Rp. 1.500.000,-
2.         Pada tanggal 20 Mei 2012 Bapak Ahmad membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Surakarta dengan harga perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Ahmad tersebut adalah: 5% x (600.000.000 - 20.000.000) = Rp. 29.000.000,-

Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No
Tahun
Anggaran/Target
Realisasi sampai dengan
Desember
Persen
1
2006
Rp.26.738.357.000

Rp. 13.656.104.000

51,07%

2
2007
Rp. 27.293.000.000

Rp. 21.802.606.000

79,88%

3
2008
Rp. 25.655.376.000

Rp. 30.366.526.176

118,36%

4
2009
Rp. 35.464.470.000

Rp. 39.568.136.752

111,57%

5
2010
Rp. 42.753.393.214

Rp. 43.688.716.095

102,19%

                                                                                    Rata-rata                  92,62%

(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu pada tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada realisasinya. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun penerimaan yang signifikan tejadi pada tahun 2008 selisih terbesar antara anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176 (empat miliar tujuh ratus sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1.  Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2.  Nilai Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi di lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Mereka baru mengetahuinya setelah akan melakukan peralihan hak dan mendapatkan penjelasan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila harga pasar atau nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat Setoran Bea Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di Kota Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan untuk disampaikan kepada warga masyarakat di desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
           
















BAB III
PENUTUP

A.         KESIMPULAN
Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain, 2003)
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya (Sadhani, 2004).
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah positif atau negatif.
Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang keliru terhadap kedua Undang-undang itu.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”.

B.         SARAN
Upaya-upaya yang diharapkan dapat dilaksanakan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan sistem self assessment dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1.   Perlu adanya syarat atau keharusan untuk cek Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sebelum transaksi jual beli dilakukan, seperti halnya adanya syarat cek sertifikat ke Kantor Pertanahan sebelum penandatanganan akta jual beli. Hal ini dimaksudkan untuk mencocokkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan obyek pajak bahwa data yang tercantum dalam SPPT tersebut adalah data atas obyek pajak yang dimaksud, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penggunaan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas obyek pajak yang lain dan sekaligus berfungsi sebagai laporan dari wajib pajak, sehingga secara bertahap tertib administrasi dapat terwujud dan memperkecil kemungkinan wajib pajak tidak memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
2.   Perlu koordinasi pihakpihak terkait pada Pelaksanaan Self Assessment System dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dalam hal ini adalah PPAT/Notaris, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan Kantor Pertanahan, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pembayaran  pajak dan peran sertanya menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan daerah melalui pembayaran pajak sehingga dengan demikian penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan semakin meningkat.





























DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Penerbit Andi Yogyakarta.

Sadhani, D. (2004). “Peran serta Akuntan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak”. Makalah disampaikan pada Konggres Nasional Ikatan Akuntan Indonesia V. Yogyakarta, 12-13 Desember 2004.

Tarjo dan Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan Wajib Pajak terhadap Fiskus, Kesadaran Wajib Pajak terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akuntansi, dan Kepatuhan Wajib Pajak”. Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Gama, Malang, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005, Hal. 119-136.
Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.

Zain, M. (2003). Manajemen Perpajakan. Jakarta: Penerbit PT. Salemba Empat.
Artikel:
Analisis Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System.
Oleh : TARJO, S.E., M.Si. dan INDRA KUSUMAWATI, SE

Analisis Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta
Oleh : Legowo Dwi Resihono
Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia , Surakarta 57149, Indonesia


Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar 1945

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputuran Direktur Jendral Pajak di Bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena warisan dan hibah wasiat;

Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena Pemberian Hak Pengelolaan;

Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.