Kamis, 18 Oktober 2012

MAKALAH TINJAUAN TENTANG IMPLEMENTASI OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011



TINJAUAN  TENTANG  IMPLEMENTASI  OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011
                                                                            
UMS.jpg

Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perburuhan 
 Dengan Dosen Pengampu Shalman Alfarizy, S.H.,M.Kn


OLEH
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
C100100144 ( B )





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012



B A B   I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah

            Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Segala aspek kehidupan diatur dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Aspek kehidupan tentang Hak Asasi Manusia khususnya berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terdapat dalam Pasal 28 D ayat 2 UUD RI 1945. Pengaturan lebih sistematis diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 telah memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yang populer di sebut outsourcing. Pengertian Outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan pihak tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja (penyedia), perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna) dan tenaga kerja/pekerja (Abdul Khakim, 2009:74).
Namun faktanya kehadiran Negara yang semula diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi sebaliknya, kehadiran Negara lebih terkesan represif bahkan eksploitatif terhadap kepentingan pekerja/buruh. Sementara peran Negara dalam hubungan industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif terhadap kepentingan pemodal. Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dapat terlihat dari problematika outsourcing (Alih Daya) yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi dengan hegemoni kapitalisme financial yang beroperasi melalui “dis-solution subject”, yang tidak memandang pekerja/buruh sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai objek yang bisa di eksploitasi ( Uti Ilmu Royen, 2009:2).
Problema outsourcing di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah justru melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja/buruh. Namun kegelisahan buruh tentang praktik outsourcing sepertinya sedikit terobati pada pertengahan bulan Januari 2012. Pada tanggal 17 bulan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagaian uji materi UU No. 13/2003 yang diajukan oleh Didik Suprijadi, pekerja dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Segala perubahan meski kecil pasti akan menimbulkan effect atau perubahan dalam penerapan peraturan.
Berdasarkan uraian singkat fakta diatas, maka dalam makalah ini penulis tertarik untuk mengupas tentang segala hal ihwal yang berhubungan dengan outsourcing      pasca   Putusan  Mahakamah  Konstitusi  dengan  judul  makalah          Tinjauan  Tentang  Implementasi  Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011’’.
                                                                            
B. Perumusan  Masalah
            Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan dibahas, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.

 Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi latar belakang tuntutan uji materi UU No.13/2003 ke Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimanakah praktek penerapan outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 ?

























B A B II
PEMBAHASAN

A. Jawaban Rumusan Masalah
Latar Belakang Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran.
Status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonsia dan karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.
Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2) "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".
Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal
dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan degradasi nilai manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusi pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan kata mutiara saja.
Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan perusahaan pengguna mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern.
Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub  contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub contractornya dengan pekerjanya.
 Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
            Berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Praktek Penerapan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011
Setelah masa persidangan yang cukup panjang, MK akhirnya memberi putusan pada 17 Januari 2012. Amar putusan MK bernomor 27/PUU-IX/2011 itu selengkapnya seperti berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
·          Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
·          Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. (Sumber ,Putusan MK  No. 27/PUU-IX/2011 )
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan ( Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana Kusumasari).
            Namun menurut Kirnadi, Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dalam artikelnya yang berjudul Masa Depan Putusan MK dan Nasib Buruh, menilai bahwa  putusan MK tidak akan membawa banyak perubahan bagi nasib buruh dan tidak akan menghilangkan praktek outsourcing. Putusan MK dilihat tidak lebih hanya akan memperjelas aturan outsourcing. Bahkan ia meneruskan: "Putusan MK justru membuka peluang cara untuk melakukan outsourcing". Menurutnya, aturan outsourcing itu dicabut sepenuhnya, tetapi ternyata MK tidak melakukan itu. MK hanya memberikan rekomendasi agar adanya perbaikan dalam praktik outsourcing. Meski demikian, ini bukan mutlak kesalahan MK sendiri. Sebuah putusan hukum MK pada dasarnya hanya merupakan respon terhadap uji materi yang diajukan oleh pemohon. Pasal yang dituntut dan alasan penuntutan oleh karenanya sangat tergantung pada pemohon. Dari sisi hukum sendiri, putusan MK mungkin menganulir beberapa ketentuan mengenai outsourcing tetapi dengan "hanya"ditindaklanjuti oleh Kemenakertrans dengan menerbitkan surat edaran yang tidak bersifat mengikat dan lemah secara yuridis, bisa saja putusan MK tetap memelihara atau mengakui keberadaan praktik outsourcing yang terjadi selama ini.





B A B  III
P E N U T U P

A.Kesimpulan
            Latar Belakang Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi adalah bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
            Berdasarkan fakta-fakta alasan terssebut jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya tentang praktek penerapan outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 yaitu Mahkamah menawarkan dua model outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan .

B. Saran
Outsourcing merupakan hak pengusaha, namun pelaksanaan hak itu  ada persyaratan tertentu  dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Artinya dalam melakukan outsourcing disamping harus memenuhi  syarat materiil dan formil, secara substansial tidak boleh mengurangi hak – hak normatif pekerja/ buruh. Hak – hak tersebut antara lain:
1. hak atas upah yang layak;
2. hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti;
3. hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;
4. hak atas PHK
5. hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.
            Selain solusi diatas, jika kita meyakini putusan MK tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan nasib buruh, sementara negara terkesan abai terhadap persoalan buruh, apa yang dapat dilakukan? Sepertinya buruh tidak dapat berpaling ke pihak lain, kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka perlu meningkatkan posisi tawar ketika berhadap-hadapan baik dengan pengusaha maupun penguasa. Untuk melaksanakan itu, tidak bisa dihindari buruh memerlukan organisasi diri yang kuat. Tanpa organisasi buruh yang kuat, buruh tidak akan bisa menekan pemilik modal dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Tantangannya kini ada dipihak buruh, apakah mereka mampu bertahan dari berbagai tekanan yang biasanya diberikan oleh perusahaan pada pekerja. Ada banyak contoh yang menunjukkan kuatnya tekanan perusahan terhadap organisasi buruh. Salah satu yang mencuat adalah kasus organisasi buruh di Carefour Indonesia. Serikat Pekerja Carefour Indonesia (KASBI) diberangus, anggota dan pengurusnya dikenai sanksi skorsing sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
            Jalur lain yang mungkin dapat ditempuh oleh kaum buruh adalah melalui sebuah partai politik. Seperti yang telah kita ketahui  peraturan atau produk hukum merupakan hasil transaksi politik. Asumsinya jika buruh bisa memiliki partai politik yang memiliki basis massa yang besar dan terorganisir dengan baik tentu akan ada yang secara aktif melindungi dan memperjuangkan kepentingan buruh secara langsung dalam proses transaksi politik. Partai Buruh bisa menjadi harapan bagi akses untuk memperjuangkan aspirasi buruh.






















DAFTAR PUSTAKA

Abdul hakim.2009. Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Bandung:PT . Citra Aditya Bakti
Uti Ilmu Royen. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang). Tesis Fakultas Hukum UNDIP

Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana Kusumasari).

Putusan MK  No. 27/PUU-IX/2011

Kamis, 04 Oktober 2012

Materi Penanganan Perkara Agama TENTANG Prosedur Gugat Cerai


PANDUAN
PENGAJUAN GUGATAN CERAI
Di Pengadilan Agama



DAFTAR ISI
  1. Kata-kata hukum yang digunakan dalam Pengadilan
  2. Hal-hal yang perlu anda ketahui
  3. Pendukung Gugatan Cerai
  4. Langkah-langkah Mengajukan Gugatan Cerai
  5. Isi Gugatan Cerai
  6. Proses Persidangan
  7. Pertanyaan Untuk Memastikan
  8. Lampiran 1. Format Surat Gugatan Cerai
  9. Lampiran 2. Format Surat Gugatan Cerai dan Permohonan Prodeo
  10. Lampiran 3. Petunjuk  Pengisian Surat Gugatan Cerai dan Permohonan Prodeo
  11. Lampiran 4. Format Surat Kuasa Insidentil


A. KATA-KATA HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM PENGADILAN
  • Gugatan Cerai, adalah tuntutan hak ke pengadilan (bisa dalam bentuk tulisan atau lisan) yang diajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya.
  • Penggugat, adalah istri yang mengajukan gugatan perceraian, dalam hal ini adalah anda.
  • Tergugat, adalah suami  yang anda gugat cerai.   
  • Mediasi, adalah upaya penyelesaian perkara secara damai melalui juru damai/penengah yang dilakukan di luar persidangan.
  • Mediator, adalah sebutan untuk orang yang menjadi juru damai/penengah.
  • Pernikahan yang Sah, adalah pernikahan yang dilakukan menurut agama dan dicatatkan di KUA.
  • Domisili, adalah alamat tempat tinggal berdasarkan KTP, namun bisa didasarkan pada surat keterangan pindah dari RT/Kelurahan jika anda pindah ke tempat lain.
  • Alasan yang sah, adalah alasan yang benar secara hukum, misalnya: pergi untuk mencari nafkah, tugas negara, terpaksa, dsb.


B. HAL-HAL YANG PERLU ANDA KETAHUI

Siapa yang bisa mengajukan Gugat Cerai?

Yang bisa mengajukan Gugat Cerai adalah istri yang sudah melangsungkan pernikahan yang sah (dibuktikan dengan surat nikah) dan hendak mengakhiri perkawinan melalui Pengadilan.

Ke mana Mengajukan Gugat Cerai?

  • Jika pernikahan anda di catatkan di KUA, maka Gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah kabupaten yang sama dengan tempat tinggal anda.

  • Jika pernikahan anda dicatatkan di KUA dan anda saat ini bertempat tinggal di Aceh, maka Gugatan diajukan ke Mahkamah Syariah  yang terdekat dari tempat tinggal anda.


Kapan anda bisa mengajukan Surat Gugatan?

Anda bisa mengajukan gugatan setiap saat pada jam kerja dan hari kerja Pengadilan.
Biasanya Pengadilan dibuka pada hari Senin sampai hari Jumat dan mulai pukul 08.00 hingga 16.30.


Apa Alasan yang Dapat digunakan untuk Mengajukan Gugatan?

Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain:
a.       Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada izin atau alasan yang sah. Artinya, suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda.
c.       Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
d.      Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda, sehingga keselamatan anda terancam;
e.       Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit;
f.         Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
g.       Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h.      Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga.



Apakah Pengajuan Gugatan anda bisa diwakilkan kepada Orang Lain?

Pengajuan Gugatan anda bisa diwakilkan kepada orang lain, dengan menggunakan kuasa.
Kuasa ada 2 macam, yaitu :
a.       Kuasa hukum dari pengacara/ advokat
b.      Kuasa dari keluarga (kuasa insidentil)

Dalam hal anda menggunakan kuasa insidentil, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
a.        Anda harus mengajukan permohonan izin kuasa insidentil kepada Ketua Pengadilan (Lihat format permohonan di Lampiran II)
b.      Yang boleh menjadi kuasa insidentil adalah saudara atau keluarga yang ada hubungan darah, paling jauh hingga derajat ketiga. Misalnya; satu derajat ke bawah (anak anda), ke samping (saudara kandung anda), atau ke atas (orang tua anda)
c.       Seseorang hanya diperbolehkan menjadi kuasa insidentil satu kali dalam 1 tahun.
d.      Penggugat dan Kuasa Insidentil harus menghadap ke Ketua Pengadilan Agama secara bersamaan.
e.       Pengadilan Agama akan mengeluarkan surat izin kuasa insidentil.


C. PENDUKUNG GUGATAN CERAI
Untuk mendukung gugatan cerai, anda harus menyiapkan Surat-surat dan Saksi-saksi yang akan dijadikan alat bukti untuk menguatkan gugatan cerai anda.  

Surat-surat yang Harus Disiapkan adalah :
·         Buku Nikah Asli
·         KTP Asli
·         Akta kelahiran anak-anak (jika anda punya anak) Asli
·         Surat Kepemilikan harta jika berkaitan dengan harta gono-gini, misalnya BPKB,  Sertifikat Rumah, dst (jika ada).
·         Surat visum dokter atau yang surat-surat lainnya yang diperlukan (jika ada).

Surat-surat tersebut difotokopi, dan fotokopinya harus dimeteraikan di kantor pos setempat. Untuk setiap jenis surat, diberi satu meterai seharga Rp 6.000.

Fotokopi dari surat-surat harus anda serahkan ke Majelis Hakim sebagai alat bukti, sementara surat-surat yang asli hanya anda tunjukan dan kemudian dibawa pulang kembali. Kecuali Buku Nikah yang asli tetap disimpan di Pengadilan. 

Saksi-saksi yang Harus Disiapkan adalah :
·         Saksi-saksi terdiri dari paling sedikit 2 orang
·         Saksi boleh berasal dari keluarga, tetangga, teman atau orang yang tinggal di rumah anda
·         Saksi harus mengetahui (mendengar dan melihat) secara langsung peristiwa terkait dengan gugatan cerai anda
·         Saksi haruslah orang yang sudah dewasa (sudah 18 tahun atau sudah menikah)

Saksi-saksi harus dihadirkan untuk diperiksa oleh Majelis Hakim pada sidang berikutnya yaitu saat sidang pembuktian. 


D. LANGKAH-LANGKAH MENGAJUKAN GUGAT CERAI

Langkah 1. Cari Informasi
·         Sebelum anda mengajukan gugatan cerai, ada baiknya anda mencari informasi mengenai proses mengajukan gugatan cerai terlebih dahulu agar anda yakin apa yang anda lakukan sudah tepat.
·         Untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengajuan gugatan cerai, anda dapat langsung ke bagian meja informasi di Pengadilan setempat, atau telepon, membuka website, menghubungi LSM terdekat.

Langkah 2. Datang ke Pengadilan
·         Setelah anda yakin ke Pengadilan mana anda harus datang untuk mengajukan gugatan, datanglah ke Pengadilan dengan membawa surat gugatan cerai sesuai dengan format terlampir (lihat lampiran I).
·         Jika anda menggunakan Kuasa Hukum, Anda dapat meminta Kuasa Hukum untuk membuat Surat Gugatan atas nama anda.
·         Jika anda penyandang tuna netra, buta huruf atau tidak dapat baca tulis, maka anda dapat mengajukan gugatan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan.

Langkah 3. Mengajukan Surat Gugatan ke Pejabat Kepaniteraan Pengadilan
·         Serahkan Surat Gugatan yang sudah anda siapkan kepada Pejabat Kepaniteraan di Pengadilan.

Langkah 4. Membayar Biaya Panjar Perkara
·         Pada hari yang sama setelah anda menyerahkan Surat Gugatan kepada Kepaniteraan, Kepaniteraan akan menaksir biaya perkara yang dituangkan dalam Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM).
·         Anda akan diminta membayar Biaya Panjar Perkara di bank yang ditunjuk oleh Pengadilan.
·         Simpan tanda pembayaran (yang dikeluarkan oleh bank) dan serahkan kembali tanda pembayaran tersebut kepada Pengadilan, karena akan dilampirkan untuk pendaftaran perkara.
·         Apabila anda tidak mampu membayar biaya perkara, maka anda bisa mengajukan Permohonan Prodeo kepada Ketua Pengadilan (Lihat Panduan Prodeo).

Panjar Biaya Perkara:
a.       Biaya perkara dibayar pada saat pendaftaran sebagai panjar biaya perkara. Akan diperhitungkan pada saat pembacaan putusan (lihat point d di bawah ini)

b.      Ketentuan panjar biaya perkara ditetapkan oleh ketua pengadilan, disesuaikan radius/jarak antara domisili anda dengan Kantor Pengadilan. Sehingga biaya perkara antara masing-masing orang bisa berbeda.  

c.       Panjar biaya perkara terdiri dari: Biaya Pendaftaran, Proses, Pemanggilan, Redaksi, Meterai dan Biaya lain yang berkaitan dengan pemeriksaan setempat, penyitaan, bantuan panggilan melalui Pengadilan lain.

d.      Penghitungan besarnya biaya perkara akan dicantumkan dalam isi putusan. Biaya perkara tersebut akan diambil dari panjar yang sudah anda bayarkan pada saat pendaftaran. Jika masih ada sisa panjar biaya perkara,  maka uang sisa akan dikembalikan kepada Anda.


Langkah 5. Nomor Perkara
·         Setelah membayar panjar biaya perkara, Anda akan mendapatkan nomor perkara.

Langkah 6. Menunggu Hari Sidang
·         Dalam waktu 1-2 hari sejak mendaftarkan gugatan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim  yang akan menyidangkan perkara tersebut. Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk, segera menetapkan hari sidang.
·         Atas dasar penetapan hari sidang (PHS), juru sita memanggil anda dan suami untuk menghadiri sidang.  Surat Panggilan tersebut harus anda terima sekurang-kurangnya 3 hari sebelum hari persidangan.
·         Surat panggilan sidang untuk anda harus diserahkan di tempat tinggal anda. Surat panggilan sidang untuk suami akan diserahkan kepada suami di tempat tinggalnya. Jika anda atau suami tidak sedang berada di rumah, maka Juru sita akan menitipkan surat panggilan sidang kepada Kepala Desa/ Lurah di tempat anda atau suami tinggal.

Langkah 7. Menghadiri Sidang
·         Pada hari sidang yang dicantumkan dalam surat panggilan, Anda dan Suami harus hadir di pengadilan. Anda akan dipanggil masuk ke ruang sidang sesuai urutan kehadiran.

E. ISI GUGATAN CERAI

a.       Identitas para pihak (Anda dan suami) terdiri dari: nama lengkap (beserta gelar dan bin/binti), umur, pekerjaan, tempat tinggal.

b.      Dasar atau alasan gugatan, berisi keterangan berupa urutan kejadian sejak mulai perkawinan anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan.

c.       Tuntutan/permintaan hukum (petitum), yaitu tuntutan yang anda minta agar dikabulkan oleh hakim. Seperti:
  • Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
  • Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan tergugat putus karena perceraian
  • Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah iddah kepada Penggugat selama tiga bulan sebesar Rp____;
  • Menetapkan hak pemeliharaan anak diberikan kepada Penggugat
  • Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak melalui Penggugat sebesar Rp........setiap bulan;
  • Menghukum Tergugat membayar biaya pemeliharaan (jika anak belum dewasa) terhitung sejak....sebesar Rp....per bulan sampai anak mandiri/dewasa;
  • Menetapkan bahwa harta bersama yang diperoleh selama perkawinan (gono-gini) berupa______
  • Menetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat masing-masing memperoleh bagian separuh dari harta bersama.
  • Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membagi harta bersama tersebut sesuai dengan bagiannya masing-masing
  • Menghukum Penggugat membayar biaya perkara ….. dst


F. PROSES PERSIDANGAN
1.      Majelis Hakim memeriksa identitas Anda dan suami
2.      Jika Anda dan suami hadir, maka Majelis Hakim berusaha mendamaikan anda dan suami, baik langsung maupun melalui proses mediasi.
3.      Majelis Hakim berusaha mendamaikan anda dan suami dalam setiap kali sidang, namun anda punya hak untuk menolak untuk berdamai dengan suami.
4.      Anda dan suami boleh memilih mediator yang tercantum dalam daftar yang ada di Pengadilan tersebut.
a.       Jika mediator adalah hakim, maka anda tidak dikenakan biaya. Jika mediator bukan hakim, anda dikenakan biaya.
b.      Mediasi bisa dilakukan dalam beberapa kali persidangan.
c.       Jika mediasi menghasilkan perdamaian, maka anda diminta untuk mencabut gugatan.
d.      Jika mediasi tidak menghasilkan perdamaian, maka proses berlanjut ke persidangan dengan acara pembacaan surat gugatan, jawab menjawab antara anda dan suami, pembuktian, kesimpulan, musyawarah Majelis Hakim dan Pembacaan Putusan


G. PERTANYAAN UNTUK MEMASTIKAN

Isilah pertanyaan-pertanyaan berikut ini untuk memastikan bahwa anda sudah melakukan semua yang diperlukan, agar proses sidang anda lancar.

Jika anda menjawab “sudah”, maka gunakan tanda contreng (√)

NO.
PERTANYAAN

1.       
Apakah anda sudah memastikan bahwa surat gugatan anda masuk ke pengadilan yang tepat?

2.       
Apakah anda sudah memastikan identitas anda dan suami di dalam surat gugatan benar dan lengkap?

3.       
Apakah anda sudah memastikan keterangan mengenai pencatatan perkawinan anda (di KUA) yang anda terangkan dalam surat gugatan sudah benar?

4.       
Apakah anda sudah memastikan bahwa keterangan anda dalam surat gugatan tentang peristiwa yang anda alami sudah urut secara waktu (tanggal perkawinan, tempat kediaman bersama, jumlah anak, lamanya hidup rukun, mulai terjadi pertengkaran, mulai pisah ranjang, pisah rumah, dan seterusnya)?

5.       
Apakah anda sudah menjelaskan dalam surat gugatan bahwa anda dan suami sudah pernah mencoba untuk berdamai di tingkat keluarga (jika ada)?

6.       
Apakah semua permintaan atau tuntutan anda sudah anda tuliskan dalam surat gugatan?

7.       
Apakah anda sudah menandatangani surat gugatan yang anda daftarkan ke pengadilan?

8.       
Apakah anda sudah menerima bukti pembayaran panjar biaya perkara (SKUM) saat anda mendaftarkan perkara di pengadilan?

9.       
Apakah anda sudah menerima Surat Panggilan Sidang dari pengadilan?

10.   
Apakah anda sudah menyiapkan surat-surat yang dibutuhkan untuk persidangan?

11.   
Apabila anda memiliki surat-surat yang berbahasa asing, apakah anda sudah menerjemahkan surat-surat tersebut ke dalam bahasa Indonesia?

12.   
Apakah anda sudah mem-fotokopi surat-surat tersebut, menempelkan materai di setiap fotokopi surat, dan kemudian meminta pengesahan di Kantor Pos setempat?

13.   
Apakah anda memiliki 2 orang saksi yang benar-benar melihat dan mendengar secara langsung permasalahan anda dan suami?

14.   
Apakah anda sudah menghubungi saksi-saksi tersebut dan meminta kesediaan mereka untuk menjadi saksi dalam persidangan anda?







H. LAMPIRAN 1.  FORMAT SURAT GUGATAN CERAI


Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Agama .....................
Di tempat
                                                                          
Assalamualaikum wr. wb.

Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama                    : ..................................................binti/bin..........................................................
Umur                    : ................... tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : .....................................
Pekerjaan             : .....................................
Tempat tinggal    :  ............................................................................RT/RW.......................................... Desa/Kelurahan..........................................Kecamatan................................... Kabupaten................................................;
selanjutnya disebut Penggugat,

mengajukan gugatan cerai terhadap suami penggugat, :
Nama                    : ..............................................binti/bin...............................................
Umur                    : .......................................... tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : ................................................
Pekerjaan             : ................................................
Tempat tinggal    :  ............................................................................RT/RW.......................................... Desa/Kelurahan..........................................Kecamatan................................... Kabupaten................................................;
selanjutnya disebut Tergugat.

TENTANG PERMASALAHANNYA

1.      Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal ………………………… di hadapan pejabat PPN KUA Kecamatan ……………..…………… dengan Kutipan Akta Nikah/Duplikat No. ………………………. tanggal ………………………….

2.      Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dengan baik, telah/belum berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal bersama semula di ………………………………………….. dan terakhir di …………………………………………………….. selama ………………………….. bulan/tahun.

3.      Bahwa dari pernikahan tersebut telah dikaruniai anak …………………. orang yang masing-masing bernama:
3.1. …………………………………....………, lahir tanggal ………………………….…….
3.2 …………………………………..……..…., lahir tanggal ………………….…………….
3.3. ……………………………………….……, lahir tanggal ……………….……………….

4.      Bahwa kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak tanggal …………….. bulan ……………. tahun …….…. sampai dengan ……………….……………

5.      Bahwa perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat semakin tajam dan memuncak terjadi pada tanggal ………….. bulan …………. tahun ……………

6.      Bahwa sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena:
6.1. ……………………………………………………………………………………………………
6.2………………………………………………………………………………………………………
6.3………………………………………………………………………………………………………
6.4………………………………………………………………………………………………………
6.5………………………………………………………………………………………………………

7.      Bahwa akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, akhirnya sejak tanggal ……… bulan …………. Tahun ………….. hingga sekarang selama kurang lebih ……….. tahun ……… bulan, Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena Penggugat/Tergugat*) telah pergi meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Penggugat bertempat tinggal di …………………………………. dan Tergugat bertempat tinggal di …………………………………..

8.      Bahwa sejak berpisah Penggugat dan Tergugat selama …………… tahun …………… bulan, maka hak dan kewajiban suami isteri tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak itu Tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap Penggugat.

9.      Bahwa Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara bermusyawarah atau berbicara dengan Tergugat secara baik-baik tetapi tidak berhasil.

10.  Bahwa dengan sebab-sebab tersebut di atas, maka Penggugat merasa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat tidak bisa dipertahankan lagi, karena perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi, maka Penggugat berkesimpulan lebih baik bercerai dengan Tergugat.

11.  Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat selama ini tinggal bersama Penggugat/Tergugat*, karena itu untuk kepentingan anak-anak itu sendiri dan rasa kasih sayang Penggugat terhadap mereka, maka Penggugat mohon agar anak-anak tersebut ditetapkan dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.

            Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Majelis hakim untuk menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

Primer:

  1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
  2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat, ………………….. bin ………………., terhadap Penggugat, …………………. binti ……………….
  3. Menetapkan anak-anak Penggugat dan Tergugat yang masing-masing bernama ……………………….. lahir tanggal ……………………….. dan ……………………. lahir tanggal ………………………………. Berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.
  4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak tersebut kepada Penggugat.
  5. Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Subsider:
Dan atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

            Demikian gugatan ini diajukan, selanjutnya Penggugat mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
         Hormat Penggugat,


        ………………………..

Catatan:
*Coret yang tidak perlu

I.       LAMPIRAN 2.  FORMAT SURAT GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN PRODEO

Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Agama .....................
Di tempat
                                                                          
Assalamualaikum wr. wb.

Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama                    : ..................................................binti/bin..........................................................
Umur                    : ................... tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : .....................................
Pekerjaan             : .....................................
Tempat tinggal    :  ............................................................................RT/RW.......................................... Desa/Kelurahan..........................................Kecamatan................................... Kabupaten................................................;
selanjutnya disebut Penggugat,

mengajukan gugatan cerai terhadap suami penggugat, :
Nama                    : ..............................................binti/bin...............................................
Umur                    : .......................................... tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : ................................................
Pekerjaan             : ................................................
Tempat tinggal    :  ............................................................................RT/RW.......................................... Desa/Kelurahan..........................................Kecamatan................................... Kabupaten................................................;
selanjutnya disebut Tergugat.

TENTANG PERMASALAHANNYA

1.      Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal ………………………… di hadapan pejabat PPN KUA Kecamatan ……………..…………… dengan Kutipan Akta Nikah/Duplikat No. ………………………. tanggal ………………………….

  1. Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dengan baik, telah/belum berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal bersama semula di ………………………………………….. dan terakhir di ……………………………….. selama ………………………….. bulan/tahun.

  1. Bahwa dari pernikahan tersebut telah dikaruniai anak …………………. orang yang masing-masing bernama:
1.      …………………………………....………, lahir tanggal ………………………….…….
2.      …………………………………..……..…., lahir tanggal ………………….…………….
3.      . ……………………………………….……, lahir tanggal ……………….……………….

4.      Bahwa kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak tanggal …………….. bulan ……………. tahun …….…. sampai dengan ……………….……………

5.      Bahwa perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat semakin tajam dan memuncak terjadi pada tanggal ………….. bulan …………. tahun ……………

6.      Bahwa sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena:
6.1. ……………………………………………………………………………………………………
6.2………………………………………………………………………………………………………
6.3………………………………………………………………………………………………………
6.4………………………………………………………………………………………………………
6.5………………………………………………………………………………………………………

7.      Bahwa akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, akhirnya sejak tanggal ……… bulan…………. tahun………….. hingga sekarang selama kurang lebih ………..tahun ……… bulan, Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena Penggugat/Tergugat*) telah pergi meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Penggugat bertempat tinggal di …………………………………. dan Tergugat bertempat tinggal di …………………………………..

8.      Bahwa sejak berpisah Penggugat dan Tergugat selama …………… tahun …………… bulan, maka hak dan kewajiban suami istri tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak itu Tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap Penggugat.

9.      Bahwa Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara bermusyawarah atau berbicara dengan Tergugat secara baik-baik tetapi tidak berhasil.

10.  Bahwa dengan sebab-sebab tersebut di atas, maka Penggugat merasa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat tidak bisa dipertahankan lagi, karena perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi, maka Penggugat berkesimpulan lebih baik bercerai dengan Tergugat.

11.  Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat selama ini tinggal bersama Penggugat/Tergugat*, karena itu untuk kepentingan anak-anak itu sendiri dan rasa kasih sayang Penggugat terhadap mereka, maka Penggugat mohon agar anak-anak tersebut ditetapkan dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.

12.Bahwa pemohon adalah orang yang tidak mampu sesuai dengan Surat Keterangan Tidak Mampu nomor .................. yang dikeluarkan oleh Kelurahan/ Desa  ...........................Kecamatan ........................ Kabupaten.............. Propinsi.................

            Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Majelis hakim untuk menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

Primer:

1.      Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2.     Mengijinkan Penggugat untuk berperkara secara Cuma-Cuma
3.      Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat, ………………….. bin ………………., terhadap Penggugat, …………………. binti ……………….
4.      Menetapkan anak-anak Penggugat dan Tergugat yang masing-masing bernama ……………………….. lahir tanggal ……………………….. dan ……………………. lahir tanggal ………………………………. Berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.
5.      Menghukum Tergugat untuk menyerahkan pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak tersebut kepada Penggugat.
6.     Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada negara

Subsider:
Dan atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian gugatan ini diajukan, selanjutnya Penggugat mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
         Hormat Penggugat,

        ………………………..
Catatan:
*Coret yang tidak perlu
J.              LAMPIRAN 3. PETUNJUK PENGISIAN SURAT GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN PRODEO

TENTANG DATA PENGGUGAT DAN TERGUGAT

1.      Isilah Nama Lengkap anda (Penggugat) dan suami (Tergugat) termasuk gelar dan nama orang tua anda sesuai dengan dokumen terakhir. Contoh: Ir. Nurlaila Binti H. Hasan (Penggugat) dan Amir Bin Sutomo (Tergugat).
Jika nama anda tertulis berbeda di dokumen, maka tuliskan nama tersebut dengan alias. Contoh : Ir. Nurlaila Binti H. Hasan alias Ir. Nur Laela Binti H. Hasan
2.      Isilah usia anda saat mengajukan gugatan cerai.
3.      Isilah agama anda.
4.      Isilah pendidikan terakhir anda.
5.      Isilah nama pekerjaan anda saat ini.
6.      Isilah alamat lengkap tempat tinggal anda sesuai dengan alamat anda tinggal saat ini lengkap dengan nomor rumah, RT, RW, desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota.
7.      Apabila anda tidak mengetahui alamat suami saat ini, maka isilah alamat suami dengan menggunakan alamat  terakhir yang anda ketahui, lalu berikan keterangan bahwa anda tidak mengetahui di mana tempat tinggal suami saat ini (alamat tidak diketahui baik di dalam ataupun di luar Indonesia).

TENTANG PERMASALAHANNYA
1.      Tulislah tanggal terjadinya akad nikah, KUA yang mencatatkan akad nikah, No. Kutipan Akta Nikah dan tanggal dikeluarkan Akta Nikah.
2.      Tuliskan alamat tempat tinggal pertama saat menikah dan alamat tempat tinggal selanjutnya saat hidup bersama suami dan terakhir sebutkan berapa lama anda tinggal bersama dengan suami.
3.      Apabila dalam pernikahan anda ada anak-anak, sebutkan jumlah anak, nama masing-masing anak dan tanggal lahir mereka sesuai dengan akta atau surat keterangan lahir.
4.      Sebutkan awal terjadinya pertengkaran atau ketidakcocokan dengan suami.
5.      Sebutkan kapan pertengkaran semakin memuncak.
6.      Sebutkan alasan-alasan atau penyebab terjadinya pertengkaran antara anda dan suami.
7.      Sebutkan kapan pertengkaran terakhir terjadi sehingga terjadi pisah ranjang atau pisah rumah dan sebutkan alamat tinggal setelah pisah ranjang atau rumah.
8.      Sebutkan berapa lama perpisahan antara anda dan suami terjadi.
9.      Tuliskan jika ada upaya perdamaian dengan suami.
10.  Tuliskan bahwa akibat pertengkaran yang terus menerus tersebut  sudah  tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun sebagai suami istri.
11.  Tuliskan bahwa anda menginginkan anak-anak anda berada dalam pengasuhan anda, jika anda menuntutnya.
12.  Tuliskan poin ini jika anda menginginkan beperkara secara prodeo (Cuma-Cuma)

ISI TUNTUTAN PUTUSAN/PENETAPAN
Lihatlah contoh isi tuntutan primer dan subsider (lampiran 1 & 2)
Poin no 2 dan 6 dituliskan jika anda menginginkan beperkara secara prodeo (Cuma-Cuma).

TANDA TANGAN
Buatlah Gugatan rangkap 5 (lima) dan semuanya dibubuhi tanda tangan asli (bukan fotokopi). Tuliskan juga nama jelas anda di bawah tanda tangan tersebut.



K. LAMPIRAN 4. FORMAT SURAT KUASA  INSIDENTII


SURAT KUASA INSIDENTIL

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                          :    …………………………………… (diisi nama pihak/ orang yang memberi kuasa)
Kewarganegaraan      :    Indonesia
Pekerjaan                   :    …………………………………….
Alamat                        :    Jalan ……………………. Nomor ……… RT ……… RW ……… Desa/ Kelurahan …………… Kecamatan ……………. Kabupaten……………

Dengan ini memberi Kuasa Insidentil kepada :
Nama                          : …………………………………… (diisi nama pihak/ orang yang memberi kuasa)
Kewarganegaraan      :    Indonesia
Pekerjaan                   :    …………………………………….
Alamat                        :    Jalan ……………………. Nomor ……… RT ……… RW ……… Desa/ Kelurahan …………… Kecamatan ……………. Kabupaten……………

Khusus untuk hal-hal sebagai berikut :
1.      Mendampingi dan atau mewakili serta membela hak dan kepentingan hukum pemberi kuasa selaku Penggugat/ Pemohon di Pengadilan Agama …………...............……. atas perkara …………….........…, perkara mana telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama ……....………. Tanggal.…bulan…... Tahun..….., dengan Register Perkara Nomor……..
2.      Menerima, membuat dan menandatangani serta mengajukan surat-surat, saksi-saksi, permohonan-permohonan, memberikan keterangan, bantahan-bantahan, mengadakan perdamaian, dan dapat mengambil segala sikap atau tindakan-tindakan yang dianggap penting dan perlu, serta berguna sepanjang menyangkut hak dan kepentingan pemberi kuasa dalam perkara tersebut di atas;
3.      Menghadap/ menghadiri persidangan-persidangan di Pengadilan Agama …………, dalam upaya membela dan memperjuangkan hak dan kepentingan hukum pemberi kuasa dalam perkara tersebut di atas;
4.      Mengambil dan atau menerima surat-surat/ salinan-salinan/ akta-akta yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama ……….. setelah selesainya pemeriksaan perkara tersebut;
Demikian Surat Kuasa Insidentil ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

                                                                        …………….(kota/ kabupaten), …….. 2010

Penerima Kuasa                                                                                        Pemberi Kuasa

Materia Rp 6.000,-
Ttd                                                                                                              ttd
(………………………..)                                                                                     (……………………….)