MAKALAH
HUKUM PAJAK DAN RETRIBUSI
TENTANG
“PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM
PEMUNGUTAN PAJAK”
Di Susun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Retribusi
Dengan Dosen
Pengampu Salman Alfarizy, S.H.,M.Kn
OLEH
ANDHIKA
DELLA PERMANA PUTRA
C100100144 (
B )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di
Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh
karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama dengan meningkat peran serta
seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri.
Pajak
merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan
penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat
guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi
masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa
sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun
bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk
kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai
berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya
diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan
Negara.
Penetapan pajak
di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan amendemennya,
dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung dan
ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah.
Reformasi
perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan
dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan
tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan
kehidupan dan kegiatannya, sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai
pengawas, pembina dan penyedia fasilitas. Salah satu
tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia adalah penerapan sistem
pemungutan pajak self assessment sebagai pengganti official assesment.
Perubahan
sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self
assessment, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang
berasal dari pajak, karena penerimaan dari migas tidak dapat diandalkan lagi,
sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.
Sejak
diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan
Indonesia, peranan positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban
perpajakannya (tax compliance) menjadi semakin mutlak diperlukan.
Agar
sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan
pelaksanaan penegak hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum
ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan
pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan,
yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang Wajib
Pajak. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak
langsung pada penerimaan pajak.
Melihat
dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh kepatuhan Wajib
Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh pelaksanaan pajak.
Hal tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang
akan membahas sekilas tentang “PENERAPAN
SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN PAJAK” yang akan Penulis tuangkan dalam Bab Pembahasan.
B. Rumusan
Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan
untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis.
Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan
diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan
mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Self
Assessment System di Indonesia, beserta dengan keuntungan dan kerugiannya ?
2. Bagaimana Hubungan Wajib Pajak Dengan Self
Assessment System Pajak Penghasilan?
3. Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB ?
B A B
II
P E M
B A H A S A N
A. Self Assessment System
di Indonesia
Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun
1983, setelah sebelumnya pernah
diberlakukan official assessment
system. Self assessment system
merupakan sistem pemungutan pajak
yang memberi kepercayaan, tanggung jawab
kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar. Official assessment
system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang. Perbedaan antara official assessment system dan self assessment system dapat dilihat pada
Tabel 1.
Perbedaan Official Assessment System dan Self
Assessment System
OFFICIAL ASSESSMENT SYSTEM
|
SELF ASSESSMENT SYSTEM
|
|
Wewenang menentukan Pajak terutang
|
Besarnya
pajak terutang ditentukan
oleh
Fiskus
|
Besarnya
pajak terutang ditentukan
oleh Wajib Pajak
|
Peran Wajib Pajak
|
Wajib Pajak bersifat pasif
|
Wajib Pajak bersifat aktif
|
Peran Fiskus
|
Fiskus bertindak aktif
|
Fiskus hanya bertindak sebagai fasilitator
|
Timbulnya pajak terutang
|
Timbul
karena dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak (SKP) oleh Fiskus
|
Timbul
karena UU dan karena terjadinya
keadaan
atau perbuatan
|
Sumber: Mardiasmo (2003)
Self
assessment system merupakan suatu pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak terutang. Wajib Pajak diberi tanggung jawab atas kewajiban
pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan. Wajib
Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi
penghitungan memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang
terutang sesuai dengan peraturan perpajakan dan atas dasar fungsi penghitungan
Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke
Bank Persepsi atau Kantor Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah
melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP). Sistem pemungutan
yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu
ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya
dalam SPT. Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan
yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan
oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut
pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain,
2003). Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: (1)
Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung
Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang
terutang maksudnya mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang
dilunasi dalam tahun berjalan, dan (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur
jumlah pajak yang terutang.
Jiwa
dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang memberi kepercayaan
kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya kewajiban
pajak yang harus dibayar Wajib Pajak. Perhitungan besarnya pajak ini harus
diakui kebenarannya sebelum Dirjen Pajak dapat membuktikan yang sebaliknya,
karena didalam asas self assessment ada unsur pendelegasian wewenang
oleh Dirjen Pajak, maka sebagai konsekwensinya Dirjen Pajak harus menciptakan
sistem kontrol secara memadai, sebab pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan
mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan wewenang.
Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak
dan bukan obyek pajak, atau harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk melakukan
pengisian SPT adalah terdapat dalam pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan
bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undan No. 16
tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat
pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT
Tahunan PPh oleh Wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keteranganketerangan
lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh)
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) fungsi SPTadalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang
sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan
lengkap, sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan perundangundangan
perpajakan yang berlaku. Pengisian SPT yang tidak benar yang mengakibatkan
pajak yang terutang kurang bayar sehingga akan dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU
No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat dan tidak menyampaikan
SPTnya akan dikenakan sanksi administrasi yaitu:
a. Wajib Pajak
terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00 (seratus
ribu rupiah).
b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang bayar.
c. Wajib Pajak tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang baya.
Surat
Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui
kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh menteri keuangan, Mardiasmo (2003).
Fungsi
dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan
pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib
Pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus.
Persoalan yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya pengetahuan yang
cukup tentang perpajakan dan berbagai peraturannya yang dituangkan secara
gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna ganda, dan tidak terlalu
sering berubah (Tarjo dan Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus disampaikan kepada
Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah.
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib
Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus) untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi
hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang
sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan
tersebut Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang
terutang ke Bank Persepsi atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak
melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan
Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak
terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan
atau bahkan disalah gunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang
dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah atau
kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk melaksanakan
kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini
bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunannya (Sadhani, 2004).
Tata cara
pemungutan pajak dengan menggunakan self
assessment system berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai
pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana ciri-ciri self assessment system adalah adanya
kepastian hukum, sederhana perhitungaanya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan
merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak.
Adapun ciri self assessment system yang lainnya adalah sebagai berikut:
- Wajib pajak melakukan peran aktif dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
- Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
- Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.
Self assessment system menyebabkan
wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban
perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan
semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak,
menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena
menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan
menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan,
pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang
seharusnya dibayar.
Self assessment system dapat
ditentukan dengan cara:
1. Kepatuhan,
kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah faktor
paling dominan dalam metode ini karena kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan
untuk menghindari kecurangan yang dilakukan wajib pajak.
2. Kurang bayar
dan lebih bayar pajak, kurang bayar pajak terjadi karena jumlah pajak yang
dibayar lebih kecil daripada jumlah pajak terutangnya sedangkan lebih bayar
pajak terjadi karena jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak
terutangnya.
3. Menyetor,
menghitung, dan melaporkan pajak merupakan rangakaian dalam kegiatan unutk
melaksankan kewajiban perpakannya.
B. Hubungan
Wajib Pajak Dengan Self Assessment System
Pajak Penghasilan
Peranan
Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self
Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No.28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun
2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-undang inilah butir
2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-undang ini
digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah
positif atau negatif.
Menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 28 Tahun
2007 dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 adalah sebagai berikut:
“Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung,
memperhitungkan, memotong atau memungut, menyetor dan melaporkan besarnya
jumlah pajak yang harus dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya”.
Menurut Waluyo dalam bukunya Perpajakan Indonesia adalah:
“ Wajib
Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang (Self Assessment System),
sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh Wajib
Pajak”.
Peranan
positif terhadap Self Assessment System
Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang benar
terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007 dan
Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak
mempunyai pemahaman yang keliru terhadap kedua Undang-undang itu.
C. Penerapan Sistem Self
Assesment Dalam Pemungutan BPHTB.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang
dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan Lainnya.
Menurut
ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak
yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal
tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini
didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana
wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat
ketetapan pajak”. (BPHTB Pasal 10 ayat 1 ) Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang
BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah
berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 %
(lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat
berleku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada
pejabatpejabat
umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan
kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan
penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah,
untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan
dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar
5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal
6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih
rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah
Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak
belum diketahui, besarnya Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung
BPHTB adalah sebagai berikut:
BPHTB =
Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%
Sedangkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai besarnya
Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan
hak karena warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas
atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan dalam ayat (2) memuat
bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk
mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk
mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh
beberapa orang tentang bagaimana penerapan self
assesment system dalam
pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan
pajak pratama Surakarta.
1. Penerapan Self
Assesment System Dalam Pemungutan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta
Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi
5 (lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan
Banjarsari. Lokasi KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim
Nomor 1 Surakarta 57147, telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor
Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin
dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) orang tenaga
paramedis.
b. Lapangan
tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu
kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai dengan nama KPN Direktorat Jendral
Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam
dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil DJP Jawa Tengah
II.
d. Mushola yang teletak di belakang kantor
sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e. Kantin
yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak luar
dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan yang
ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü Kepala Kantor
ü Kelompok Jabatan Fungsional
ü Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü Sie Ekstensifikasi
ü Sie Waskon IV
ü Sie PDI
ü Sie Pemeriksaan
ü Sie Pelayanan
ü Sie Penagihan
ü Sie Waskon I
ü Sie Waskon II
ANALISIS
Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang
penerapan sistem self assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta, serta mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta telah
sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dalam
penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system sebagai
salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang
menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak
dituntut berperan serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan.
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang
dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan oleh perbuatan hukum
jual-beli.
Pelaksanaan
pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta, dalam
memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank
persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar
sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Penetapan
Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota
Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan
untuk peristiwa hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00
(seratus tujuh puluh lima juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah
sebagai berikut :
BPHTB = (NPOP –
NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%
( Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Untuk
lebih jelasnya penulis akan memberikan
contoh penghitungan BPHTB kota Surakarta.
Contoh :
1. Pada tanggal 7 Maret 2012, Bapak Bambang membeli sebidang tanah
yang terletak di Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
sebesar Rp. 50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,-
maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Bambang tsb adalah : 5% x (50.000.000-
20.000.000) = Rp. 1.500.000,-
2. Pada tanggal 20 Mei 2012 Bapak Ahmad membeli sebuah rumah
seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota
Surakarta dengan harga perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data
SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah
dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban
BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Ahmad tersebut adalah: 5% x (600.000.000 -
20.000.000) = Rp. 29.000.000,-
Dalam
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak,
sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun
2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang
sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah
merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai
Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan
sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan
mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5
(lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta.
Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti
setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB)
lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran
tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga
digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat,
identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan
lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor
Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua
tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat
untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No
|
Tahun
|
Anggaran/Target
|
Realisasi
sampai dengan
Desember
|
Persen
|
1
|
2006
|
Rp.26.738.357.000
|
Rp.
13.656.104.000
|
51,07%
|
2
|
2007
|
Rp.
27.293.000.000
|
Rp.
21.802.606.000
|
79,88%
|
3
|
2008
|
Rp.
25.655.376.000
|
Rp.
30.366.526.176
|
118,36%
|
4
|
2009
|
Rp.
35.464.470.000
|
Rp.
39.568.136.752
|
111,57%
|
5
|
2010
|
Rp.
42.753.393.214
|
Rp.
43.688.716.095
|
102,19%
|
Rata-rata 92,62%
(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan
data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu
pada tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada
realisasinya. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari
anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun
penerimaan yang signifikan tejadi pada tahun 2008 selisih terbesar antara
anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176 (empat miliar tujuh ratus
sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Ada
beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1. Jumlah
peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan permohonan
pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2. Nilai
Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang
dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dari
penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi
di lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Mereka baru mengetahuinya
setelah akan melakukan peralihan hak dan mendapatkan penjelasan dari Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga merupakan
kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila harga pasar atau nilai
transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan menyampaikan
bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai Perolehan
Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha
menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan
perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat Setoran Bea Perolehan Hak dan
Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan
hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan
bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di Kota Surakarta telah dilakukan beberapa
upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan
sosialisasi ke Kecamatan yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah
kecamatan tersebut, dengan harapan untuk disampaikan kepada warga masyarakat di
desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak,
apabila ada jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Self
assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar.
Sistem
pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system
yaitu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya
dalam SPT. Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan
yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan
oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut
pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain,
2003)
Keuntungan
self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh
pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku. Fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi hak kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak
berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi
atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan
berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan
Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak
terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan
atau bahkan disalah gunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak
yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah
atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk melaksanakan
kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini
bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunannya (Sadhani, 2004).
Peranan
Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self
Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No.28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun 2000
tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-undang inilah butir 2
pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-undang ini
digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah
positif atau negatif.
Peranan
positif terhadap Self Assessment System
Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang benar
terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007 dan
Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak
mempunyai pemahaman yang keliru terhadap kedua Undang-undang itu.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa
wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak
mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas
sebagai dasar hukum pelaksanaan Self
Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat
dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang
Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi:
“Sistem pemungutan BPHTB adalah self
assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa
mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”.
B. SARAN
Upaya-upaya
yang diharapkan dapat dilaksanakan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan
sistem self assessment dalam Pemungutan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya syarat atau
keharusan untuk cek Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sebelum transaksi jual beli dilakukan,
seperti halnya adanya syarat cek sertifikat ke Kantor Pertanahan sebelum penandatanganan
akta jual beli. Hal ini dimaksudkan untuk mencocokkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) dengan obyek pajak bahwa data yang tercantum dalam SPPT
tersebut adalah data atas obyek pajak yang dimaksud, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari penggunaan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas obyek
pajak yang lain dan sekaligus berfungsi sebagai laporan dari wajib pajak,
sehingga secara bertahap tertib administrasi dapat terwujud dan memperkecil
kemungkinan wajib pajak tidak memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT).
2. Perlu koordinasi
pihakpihak terkait pada Pelaksanaan Self
Assessment System dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang
dalam hal ini adalah PPAT/Notaris, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan
Kantor Pertanahan, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya
pembayaran pajak dan peran sertanya
menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan daerah melalui pembayaran
pajak sehingga dengan demikian penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Penerbit Andi
Yogyakarta.
Sadhani, D. (2004). “Peran serta Akuntan dalam meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak”. Makalah disampaikan pada Konggres Nasional
Ikatan Akuntan Indonesia V. Yogyakarta, 12-13 Desember 2004.
Tarjo dan Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan Wajib Pajak
terhadap Fiskus, Kesadaran Wajib Pajak terhadap Pentingnya Membayar
Pajak, Rekayasa Akuntansi, dan Kepatuhan Wajib Pajak”. Jurnal Manajemen,
Akuntansi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Gama, Malang,
Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005, Hal. 119-136.
Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.
Zain, M. (2003). Manajemen Perpajakan. Jakarta:
Penerbit PT. Salemba Empat.
Artikel:
Analisis Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap
Pelaksanaan Self Assessment System.
Oleh
: TARJO,
S.E., M.Si. dan INDRA KUSUMAWATI, SE
Analisis
Penerapan Self Assesment
System Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta
Oleh :
Legowo Dwi Resihono
Akuntansi, Politeknik Pratama
Mulia , Surakarta 57149, Indonesia
Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputuran
Direktur Jendral Pajak di Bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB
karena warisan dan hibah wasiat;
Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB
karena Pemberian Hak Pengelolaan;
Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang - undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
terima kasih gan makalahnya membantu.........
BalasHapus