LEMBAGA NEGARA
Oleh:
Iswanto
Sebenarnya,
secara sederhana, istilah organ Negara atau lembaga Negara adalah untuk dapat
dibedakan dengan istilah organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau
sering disebut sebagai organisasi non
pemerintah (Ornop) yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Governmental Organizations (NGO’s). Organ atau lembaga Negara
dapat berada dalam ranah legislative, eksekutif, yudikatif, ataupun
lembaga-lembaga penyelenggara Negara lainya[1].
Definisi dan pengertian tentang
lembaga Negara sangatlah beragam, lembaga Negara tidak hanya dapat diartikan
sebagai lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif (Montesqueu)[2].
Dalam setiap pembicaraan mengenai Organ atau Lembaga negara, ada dua unsure
pokok yang saling berkaitan, yaitu organ
dan Fungsi . Organ adalah
berbicara tentang bentuk atau wadahnya, sedangkan fungsi adalah gerkan dari
wadah itu sesuai dengan maksud pembentukanya[3]. Menurut
Harjono, fungsi mempenyai makna yang lebih luas darpi pada tugas. Tugas lebih
tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi
dapat terlaksana dengan baik. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi
dari sebuah fungsi yng sifatnya kedalam, sedangkan tugas mempunyai aspwk keluar
maupun kedalam, aspek keluar dari tugas adalah wewenang, oleh karena itu sering
disebut secara bersamaan, yaitu tugas dan wewenang[4].
Dalam naskah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indnesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut
eksplisit namanya, seperti misalnya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwkilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamh
Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lain-lain,
juga ada yang hanya disebut fungsinya (seperti misalnya Kejaksaan, KPK,
Komnas HAM dll.), tapi juga ada yang disebut baik namanya maupun fungsi atau
kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah, (contoh Bank
Setral).
Jika dikaitkan dengan hal tersebut
diatas, maka dapat dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat tidak kurang dari 34 Lembaga Negara.
Mengingat ketersediaan waktu dalam kuliah Hukum Tata Negara II, yang terkait
dengan materi Lembaga Negara, saya hanya akan menyampaikan beberapa Lembaga
Negara Utama, yaitu Lembaga Negara MPR, DPR, DPD, Kepresidenan, MA, MK, KY, dan
BPK.
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)
Setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, sebenarnya Indonesia
belum merupakan Negara apalagi memiliki Lembaga Negara. Hal ini disebabkan Indonesia belum mempunyai suatu UUD yang
mengatur suasana kekuasaa Negara yang merdeka, meskipun suatu Negara Indonesia
sudah dipermaklumkan untuk berdiri melalui sebuah proklamasi kemerdekaan. Proklamasi
baru merupakan pernyataan kehendak suatu bangsa untuk merdeka, namun belum
merpakan wujud dari Negara itu sendiri[5].
Lembaga-lembaga Negara secara
yuridis terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu setelah Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mensyahkan Uadang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum
Dasar yang digunakan oleh Negara Indonesia.Pada tanggal 18 Agustus 1945 ini
pula pemerintahan Indonesia terbentuk, yaitu tatkala PPKI memilih Soekarno
sebagai Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Pertama-tama Lembaga Negara yang
terbentuk adalah lembaga Kepredidenan, kemudian disusul Mahkah Agung yang
diketuai oleh Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, Jaksa Agung diketui oleh Mr. Gatot,
Sekretaris Negara Mr. A. G. Pringgodigdo, Juru Bicara Negara, Soekardjo
Wirjopranoto, dengan demikian dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah
lembaga Legislatif dan Yudikatif. Sedangkan lembaga MPR dan DPR belum terbentuk[6].
Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dibantu
Komite Nasional Pusat (KNP)[7].
Pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil
Presiden atas usul Komite Nasinal Pusat mengumumkan Maklumat No. X yang
menetapkan bahwa “ Komite Nasinal Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan
legislative dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara”.
Berdasarkan Maklumat itu pula dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
(BPKNP) yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.[8] .
Untuk menghindarkan kesalah pahaman
terhadap status dan fungsinya, Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat menjelaskan kedudukanya sesudah lahirnya Maklumat
No. X, bahwa Badan Bekerja Berkewajiban dan berhak:
- turut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, ini berarti bahwa Presiden bersama-sama dengan Badan Pekerja menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara,
- menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintahan[9].
Berdasarkan Maklumat No. X, tampak
bahwa kedudukan Komite Nasinal Pusat hanyalah sementara, yaitu sebelum MPR dan
DPR terbntuk. Dilihat dari sisi kewenangan yang dimiliki Komite Nasional jugan
bukan merupakan MPR, karena hanya berwenang ikut menetapkan garis-garis besar
daripada haluan Negara, demikian pula juga bukan DPR, karena hanya membidangi
salah satu kewenangan DPR, yaitu bersama-sama Presiden membuat Undanfg-undang.
Perubahan terjadi bersamaan dengan perubahan system pemerintahan
presidensiel menjadi system pemerintahan parlementer berdasarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945, yaitu mendudukan Komite Nasinal Pusat
berfungsi sebagai parlemen.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dari tahun 1945-1949,
pada dasarnya Komite Nasional Pusat juga telah melakukan fungsinya sebagai
Majelis Permusyawaratan Rakyat yaitu
selain ikut serta menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara (Pasal 3
UUD 1945), juga melaksanakan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
merubah UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, hal ini terlihat dari;
- terkait dengan keluarnya Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945,
- Pada tanggal 11 November 1945, Komite Nasinal Pusat mengusulkan system pertanggung jawaban menteri, yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
- Tanggal 15 Desember 1949, Komite Nasional Pusat menyetujui Rancangan UUD RIS, dan Presidn mengesahkan menjadi UU No. 11 Tahun 1949 tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia.
Pada masa berlakunya Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara
(1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan
Republik Indonesia.
Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih
anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat
menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah
perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah
menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai
kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak
menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang berisikan :
- Pembubaran Konstituante,
- Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan
MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden
mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan
MPRS sebagai berikut :
- MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
- Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
- Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
- Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
- MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
MPR MENURUT UUD
1945
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,
menyatakan bahwa; “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, kemudian dalam penjelasan umum
UUD 1945, Sistem Pemerintahan Negara
Romawi III, dikatakan Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, lebih lanjut penjelasan UUD 1945 mengatakan, Kedaulatan
rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai penjilmaan seluruh rakyat Indonesia, dan dalam penjelasan Pasal 1 ayat
(2), dikatakan bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara
tertinggi, Majelis ini dianggap sebagai penjilmaan rakyat yang memegang
kedaulatan Negara.
Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1)
mengatakan; “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah, dangolongan-golongan,
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian penjelasan Pasal
2 ayat (1) mengatakan; “maksudnya ialah seluruh rakyat, seluruh golongan,
seluruh daerah mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga majelis itu akan
betul-betul dapat dianggap sebagai penjilmaan dari rakyat.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka
ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat dapat ditafsirkan[10];
- bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu identik dengan rakyat,
- Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencerminkan kehendak rakyat karena seluruh lapisan dan golongan rakyat akan diwakili dalam majelis ini.
Dikatakan
sebagai penjilmaan dari rakayat, karena anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat
terdiri dari keterwakilan politik yang direpresentasikan anggota-anggata Dewan
Perwakilan Rkyat, keterwakilan Daerah direpresestasikah Utusan Daerah, dan
Keterwkilan ekonomi yang direpresentasikan oleh Utusan Golongan.
Selain
pemegang kedaulatan rakyat, menurut Undang-Undang Dasar 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat mempunyai beberapa kewenangan, yaitu;
1.
Menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar
dari pada haluan Negara (Pasl 3)
2.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2)
3.
mengubah Undang-undang Dasar (Pasal 37)
4.
meminta pertanggung-jawaban Presiden (Penjelasan UUD
1945).
.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
diatur dengan undang-undang (Pasal 2 ayat (1). Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya baru terbentuk
pada tahun 1972 berdasarkan Pemilihan Umum tahun 1971. untuk itu maka dalam
membicarakan tentang pembentukan (pengisian) anggota MPR perlulah kiranya kita
melihat Undang-undang No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam
UU No. 15 Tahun 1969 sebenarnya tidak diatur tentang mekanisme pengisian
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun pemilu yang diadakan untuk
mengisi anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II (Pasal 1 ayat (1),
kemudian Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pemilihan umum yang dilakukan
berdasarkan undang-undang ini adalah juga untuk mengisi Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Kalau anggota MPR terdiri dari anggota DPR, utusan Daerah, dan Utusan
Golongan, maka menurut Pasal 1 UU No. 15 tahun 1969 baru mengisi sebagian
anggota MPR, karena tidak diatur tentang tata cara pengisisan anggota MPR dari
utusan daerah dan utusan golongan, maka pertanyaanya adalah bagaimana pengisian
anggota MPR dari utusan Daerah dan Utusan Golongan?
Jawaban
atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 16
Tahun 1969 yang mengatakan bahwa; Anggota tambahan MPR terdiri dari;
a.
Utusan Daerah seperti tersebut dalam Pasal 8
b.
Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya ditetapkan
berdasarkan imbangan hasil pemilihan umum;Organisasi Golongan Politik/Karya
yang ikut pemilihan umum, tetapi tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu
utusan di MPR yang jumlah keseluruhan tidak melebihi sepuluh orang utusan,
c.
Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan
Karya bukan Angkatan Bersenjata yang dietapkan berdasarkan pengangkatan
Ketrentuan
tentang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam UU No.
16 tersebut, menurut hemat penulis menyimpang dari ketentuan UUD. Dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yang dimaksud dengan Utusan Golongan
adalah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan
kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan
anjuran mengadakan system koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingatkan
adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi, jadi yang dimaksud dengn
golongan adalah adanya keterwakilan golongan ekonomi dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat bukan Golongan Politik dan Golongan Karya.
Dalam
pengertian bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan penjilmaan dari
Rakyat Indonesia,
maka kedudukan Majelis sangatlah kuat. Artinya semua kekuasaan negara ada di
Majelis, sehingga menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada
pembagian kekuasaan, yang ada adalah pendistribusian kekuasaan yang dimiliki
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada lembaga-lembaga Negara lainya.
MPR MENURUT UUD
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945 (UUD Hasil Amandemen).
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan Pasal 1 ayat
(2) diubah menjadi;”Kedaulatan berada ditangan akyat dan dilaksankan menurut
Undang-undang Dasar. Perubahan Pasal 1
ayat (2) ini mengandung tiga makna, yaitu :
- Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang ditetapkan dalam UUD, tidak lagi dipegang oleh MPR
- Kedaulatan Rakyat harus tunduk pada konstitusi (supremasi konstitusi)
- Kedaulatan rakyat dibatasi aturan UUD (demokrasi konstitusional)
[1] Jimly
Assisddiqie, Perkembangan dan konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi,Jakarta,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ri. 2006, hlm 31.
[2] Ni’matul
Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi
Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2007, 89
[3] Jimly
Assiddiqie, Op. Cit, 99
[4] Harjono,
dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Asosiasi
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, Jakarta, 2010, 158
[5] Aisyah
Aminy,2002, Pasang surut Peranan DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur Sawiah
bekerja sama dengan PP Wanita Islam, Jakarta,
1
[6] Aisyah
Aminy, Ibid, 6
[7] Pasal IV
Aturan Peralihan.
[8] Ismail
Suny, 1977, Pergeseran Kekuasaan
Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta,
28.
[9] Ismail
Suni, Ibid, 29
[10] Moh.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980,
Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia,
Jakarta, 43
ARTIKELNYA THE MASTAH...
BalasHapus