Selasa, 22 Oktober 2013

LEMBAGA NEGARA


LEMBAGA NEGARA
Oleh: Iswanto

Sebenarnya, secara sederhana, istilah organ Negara atau lembaga Negara adalah untuk dapat dibedakan dengan istilah organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau sering  disebut sebagai organisasi non pemerintah (Ornop) yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Governmental Organizations (NGO’s). Organ atau lembaga Negara dapat berada dalam ranah legislative, eksekutif, yudikatif, ataupun lembaga-lembaga penyelenggara Negara lainya[1].
            Definisi dan pengertian tentang lembaga Negara sangatlah beragam, lembaga Negara tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif (Montesqueu)[2]. Dalam setiap pembicaraan mengenai Organ atau Lembaga negara, ada dua unsure pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan Fungsi . Organ adalah berbicara tentang bentuk atau wadahnya, sedangkan fungsi adalah gerkan dari wadah itu sesuai dengan maksud pembentukanya[3]. Menurut Harjono, fungsi mempenyai makna yang lebih luas darpi pada tugas. Tugas lebih tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat terlaksana dengan baik. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yng sifatnya kedalam, sedangkan tugas mempunyai aspwk keluar maupun kedalam, aspek keluar dari tugas adalah wewenang, oleh karena itu sering disebut secara bersamaan, yaitu tugas dan wewenang[4].
            Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut eksplisit namanya, seperti misalnya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwkilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamh Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lain-lain,  juga ada yang hanya disebut fungsinya (seperti misalnya Kejaksaan, KPK, Komnas HAM dll.), tapi juga ada yang disebut baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah, (contoh Bank Setral).
            Jika dikaitkan dengan hal tersebut diatas, maka dapat dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat tidak kurang dari 34 Lembaga Negara. Mengingat ketersediaan waktu dalam kuliah Hukum Tata Negara II, yang terkait dengan materi Lembaga Negara, saya hanya akan menyampaikan beberapa Lembaga Negara Utama, yaitu Lembaga Negara MPR, DPR, DPD, Kepresidenan, MA, MK, KY, dan BPK.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)
            Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, sebenarnya Indonesia belum merupakan Negara apalagi memiliki Lembaga Negara. Hal ini disebabkan Indonesia belum mempunyai suatu UUD yang mengatur suasana kekuasaa Negara yang merdeka, meskipun suatu Negara Indonesia sudah dipermaklumkan untuk berdiri melalui sebuah proklamasi kemerdekaan. Proklamasi baru merupakan pernyataan kehendak suatu bangsa untuk merdeka, namun belum merpakan wujud dari Negara itu sendiri[5].
            Lembaga-lembaga Negara secara yuridis terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mensyahkan Uadang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum Dasar yang digunakan oleh Negara Indonesia.Pada tanggal 18 Agustus 1945 ini pula pemerintahan Indonesia terbentuk, yaitu tatkala PPKI memilih Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
            Pertama-tama Lembaga Negara yang terbentuk adalah lembaga Kepredidenan, kemudian disusul Mahkah Agung yang diketuai oleh Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, Jaksa Agung diketui oleh Mr. Gatot, Sekretaris Negara Mr. A. G. Pringgodigdo, Juru Bicara Negara, Soekardjo Wirjopranoto, dengan demikian dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah lembaga Legislatif dan Yudikatif. Sedangkan lembaga MPR dan DPR belum terbentuk[6].
            Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dibantu Komite Nasional Pusat (KNP)[7].
            Pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden atas usul Komite Nasinal Pusat mengumumkan Maklumat No. X yang menetapkan bahwa “ Komite Nasinal Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara”. Berdasarkan Maklumat itu pula dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.[8] .
            Untuk menghindarkan kesalah pahaman terhadap status dan fungsinya,  Badan Pekerja Komite Nasional Pusat menjelaskan kedudukanya sesudah lahirnya Maklumat No. X, bahwa Badan Bekerja Berkewajiban dan berhak:
  1. turut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, ini berarti bahwa Presiden bersama-sama dengan Badan Pekerja menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara,
  2. menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintahan[9].
Berdasarkan Maklumat No. X,  tampak bahwa kedudukan Komite Nasinal Pusat hanyalah sementara, yaitu sebelum MPR dan DPR terbntuk. Dilihat dari sisi kewenangan yang dimiliki Komite Nasional jugan bukan merupakan MPR, karena hanya berwenang ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan Negara, demikian pula juga bukan DPR, karena hanya membidangi salah satu kewenangan DPR, yaitu bersama-sama Presiden membuat Undanfg-undang.
Perubahan terjadi bersamaan dengan perubahan system pemerintahan presidensiel menjadi system pemerintahan parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yaitu mendudukan Komite Nasinal Pusat berfungsi sebagai parlemen.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dari tahun 1945-1949, pada dasarnya Komite Nasional Pusat juga telah melakukan fungsinya sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat  yaitu selain ikut serta menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945), juga melaksanakan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk merubah UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, hal ini terlihat dari;
  1. terkait dengan keluarnya Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945,
  2.  Pada tanggal 11 November 1945, Komite Nasinal Pusat  mengusulkan system pertanggung jawaban menteri, yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
  3. Tanggal 15 Desember 1949, Komite Nasional Pusat menyetujui Rancangan UUD RIS, dan Presidn mengesahkan menjadi UU No. 11 Tahun 1949 tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
  • Pembubaran Konstituante,
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
  • Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
  • MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
  • Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
  • Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  • Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
  • MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
MPR MENURUT UUD 1945
            Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa; “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, kemudian dalam penjelasan umum UUD 1945,  Sistem Pemerintahan Negara Romawi III, dikatakan Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lebih lanjut penjelasan UUD 1945 mengatakan, Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjilmaan seluruh rakyat Indonesia, dan dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2), dikatakan bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara tertinggi, Majelis ini dianggap sebagai penjilmaan rakyat yang memegang kedaulatan Negara.
            Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) mengatakan; “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah, dangolongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian penjelasan Pasal 2 ayat (1) mengatakan; “maksudnya ialah seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjilmaan dari rakyat.
            Berdasarkan ketentuan tersebut maka ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat ditafsirkan[10];
    1. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu identik dengan rakyat,
    2. Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencerminkan kehendak rakyat karena seluruh lapisan dan golongan rakyat akan diwakili dalam majelis ini.
Dikatakan sebagai penjilmaan dari rakayat, karena anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat terdiri dari keterwakilan politik yang direpresentasikan anggota-anggata Dewan Perwakilan Rkyat, keterwakilan Daerah direpresestasikah Utusan Daerah, dan Keterwkilan ekonomi yang direpresentasikan oleh Utusan Golongan.
Selain pemegang kedaulatan rakyat, menurut Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai beberapa kewenangan, yaitu;
1.                           Menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara (Pasl 3)
2.                           Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2)
3.                           mengubah Undang-undang Dasar (Pasal 37)
4.                           meminta pertanggung-jawaban Presiden (Penjelasan UUD 1945).
. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur dengan undang-undang (Pasal 2 ayat (1). Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya baru terbentuk pada tahun 1972 berdasarkan Pemilihan Umum tahun 1971. untuk itu maka dalam membicarakan tentang pembentukan (pengisian) anggota MPR perlulah kiranya kita melihat Undang-undang No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam UU No. 15 Tahun 1969 sebenarnya tidak diatur tentang mekanisme pengisian anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun pemilu yang diadakan untuk mengisi anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II (Pasal 1 ayat (1), kemudian Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pemilihan umum yang dilakukan berdasarkan undang-undang ini adalah juga untuk mengisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kalau anggota MPR terdiri dari anggota DPR, utusan Daerah, dan Utusan Golongan, maka menurut Pasal 1 UU No. 15 tahun 1969 baru mengisi sebagian anggota MPR, karena tidak diatur tentang tata cara pengisisan anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan, maka pertanyaanya adalah bagaimana pengisian anggota MPR dari utusan Daerah dan Utusan Golongan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 16 Tahun 1969 yang mengatakan bahwa; Anggota tambahan MPR terdiri dari;
a.       Utusan Daerah seperti tersebut dalam Pasal 8
b.      Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya ditetapkan berdasarkan imbangan hasil pemilihan umum;Organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu utusan di MPR yang jumlah keseluruhan tidak melebihi sepuluh orang utusan,
c.       Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang dietapkan berdasarkan pengangkatan
Ketrentuan tentang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tersebut, menurut hemat penulis menyimpang dari ketentuan UUD. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yang dimaksud dengan Utusan Golongan adalah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan system koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingatkan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi, jadi yang dimaksud dengn golongan adalah adanya keterwakilan golongan ekonomi dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan Golongan Politik dan Golongan Karya.
Dalam pengertian bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan penjilmaan dari Rakyat Indonesia, maka kedudukan Majelis sangatlah kuat. Artinya semua kekuasaan negara ada di Majelis, sehingga menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada pembagian kekuasaan, yang ada adalah pendistribusian kekuasaan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada lembaga-lembaga Negara lainya.

MPR MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD Hasil Amandemen).
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan Pasal 1 ayat (2) diubah menjadi;”Kedaulatan berada ditangan akyat dan dilaksankan menurut Undang-undang Dasar.  Perubahan Pasal 1 ayat (2) ini mengandung tiga makna, yaitu :
  1. Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang ditetapkan dalam UUD, tidak lagi dipegang oleh MPR
  2. Kedaulatan Rakyat harus tunduk pada konstitusi (supremasi konstitusi)
  3. Kedaulatan rakyat dibatasi aturan UUD (demokrasi konstitusional)



[1] Jimly Assisddiqie, Perkembangan dan konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ri. 2006, hlm 31.
[2] Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2007, 89
[3] Jimly Assiddiqie, Op. Cit, 99
[4] Harjono, dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, Jakarta, 2010, 158
[5] Aisyah Aminy,2002, Pasang surut Peranan DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur Sawiah bekerja sama dengan PP Wanita Islam, Jakarta, 1
[6] Aisyah Aminy, Ibid, 6
[7] Pasal IV Aturan Peralihan.
[8] Ismail Suny, 1977, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 28.
[9] Ismail Suni, Ibid, 29
[10] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 43

1 komentar: