Selasa, 22 Oktober 2013

MAKALAH HUKUM PAJAK 2


MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM PAJAK DAN RETRIBUSI
TENTANG
“PROBLEMATIKA PENERAPAN SISTEM SELF ASSESMENT DALAM PEMUNGUTAN BPHTB DI TINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ”
UMS.jpg

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Retribusi
Dengan Dosen Pengampu Salman Al Farizy, S.H.,M.Kn

OLEH
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
C 100100144 ( A )


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Keberhasilan ekonomi suatu Negara dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Peran pemerintah sebagai stabilator perekonomian dapat dijalankan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan dalam perekonomian. Perkembangan Pembangunan Perpajakan  Indonesia diwarnai oleh perubahan sumber pendanaan secara signifikan pada tahun 1983. Beberapa ahli perpajakan Indonesia memandang bahwa tahun 1983 merupakan titik reformasi perpajakan (tax reform). Perubahan ini ditandai oleh kemauan politik pemerintah untuk mengalihkan sumber dana pembangunan yang sebelumnya lebih di pusatkan pada pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) ke pendapatan dari sektor pajak.
Penerimaan dari sektor pajak terbesar merupakan pajak penghasilan, dilihat dari segi penerimaan. Pajak Penghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pelaksanaan pemungutan PPh oleh pemerintah dirasa belum optimal karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kewajiban membayar pajak.
Kinerja pemerintah mulai didefisienkan untuk permasalahan pemungutan pajak, salah satu yang menarik di sini yakni termasuk pendapatan negara adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan berkewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ini meliputi jual beli, tukar–menukar, warisan, hadiah dan sebagainya yang telah diatur dalam perundang– undangan perpajakan. Hak atas tanah maupun bangunan merupakan hak milik orang pribadi atau badan usaha. Perhitungan BPHTB tersebut terdapat Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai pengurang Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sedangkan tarif BPHTB 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sistem yang baik harus diterapkan dalam pemungutan pajak supaya diperoleh hasil yang optimal. Pemungutan pajak di Indonesia menganut tiga sistem, yaitu Official Assesment System, Self Assesment System, dan Withholding System. (Waluyo : 2006 ; 17)
Self Assesment System ini diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) & Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan pendapatan karena semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem self assesment menuntut wajib pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiba maupun hak perpajakannya.
Pembahasan masalah di atas menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapanya sistem self assessment tersebut pada para subjek BPHTB dalam melaksanakan kewajiban membayar BPHTB.

B.   Rumusan Masalah
  Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah  ini adalah sebagai berikut :
1.       Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ?









BAB II
PEMBAHASAN

1)            Penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-UndangNomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak” (BPHTB Pasal 10 ayat 1 ).
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabatpejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut:
    BPHTB              = Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai besarnya Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan dalam ayat (2) memuat bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh beberapa orang tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan pajak pratama Surakarta.

a)      Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi 5 (lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan Banjarsari. Lokasi KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim Nomor 1 Surakarta 57147, telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) orang tenaga paramedis.
b.  Lapangan tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai dengan nama KPN Direktorat Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil DJP Jawa Tengah II.
d. Mushola yang teletak di belakang kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e.  Kantin yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak luar dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü  Kepala Kantor
ü  Kelompok Jabatan Fungsional
ü  Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü  Sie Ekstensifikasi
ü  Sie Waskon IV
ü  Sie PDI
ü  Sie Pemeriksaan
ü  Sie Pelayanan
ü  Sie Penagihan
ü  Sie Waskon I
ü  Sie Waskon II

ANALISIS
   Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang penerapan sistem self assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system sebagai salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan oleh perbuatan hukum jual-beli.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta, dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
 Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :
BPHTB                 = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%

( Sumber : KPP Pratama Surakarta)

   Untuk lebih jelasnya penulis akan  memberikan contoh penghitungan BPHTB kota Surakarta.
Contoh :
1.                Pada tanggal 18 Februari 2012, Bapak Nurdin membeli sebidang tanah yang terletak di Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Nurdin tsb adalah : 5% x (50.000.000- 20.000.000) = Rp. 1.500.000,-
2.                Pada tanggal 10 Juni 2012 Bapak Johar membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Surakarta dengan harga perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Johar tersebut adalah: 5% x (600.000.000 - 20.000.000) = Rp. 29.000.000,-
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No
Tahun
Anggaran/Target
Realisasi sampai dengan
Desember
Persen
1
2006
Rp.26.738.357.000

Rp. 13.656.104.000

51,07%

2
2007
Rp. 27.293.000.000

Rp. 21.802.606.000

79,88%

3
2008
Rp. 25.655.376.000

Rp. 30.366.526.176

118,36%

4
2009
Rp. 35.464.470.000

Rp. 39.568.136.752

111,57%

5
2010
Rp. 42.753.393.214

Rp. 43.688.716.095

102,19%

                                                                                                   Rata-rata                             92,62%

(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu pada tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada realisasinya. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun penerimaan yang signifikan tejadi pada tahun 2008 selisih terbesar antara anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176 (empat miliar tujuh ratus sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1.  Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2.  Nilai Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi di lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Mereka baru mengetahuinya setelah akan melakukan peralihan hak dan mendapatkan penjelasan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila harga pasar atau nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat Setoran Bea Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di Kota Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan untuk disampaikan kepada warga masyarakat di desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
  





























BAB III
PENUTUP

A.         Kesimpulan
Menurut Undang-UndangNomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).











DAFTAR PUTAKA

Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.

Analisis Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta
Oleh : Legowo Dwi Resihono
Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia , Surakarta 57149, Indonesia

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputuran Direktur Jendral Pajak di Bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.












1 komentar: