MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM PAJAK DAN RETRIBUSI
TENTANG
“PROBLEMATIKA
PENERAPAN SISTEM SELF
ASSESMENT DALAM
PEMUNGUTAN BPHTB DI TINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2000
TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ”
Di Susun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Retribusi
Dengan
Dosen Pengampu Salman Al Farizy, S.H.,M.Kn
OLEH
ANDHIKA
DELLA PERMANA PUTRA
C
100100144 ( A )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan ekonomi suatu
Negara dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Peran
pemerintah sebagai stabilator perekonomian dapat dijalankan dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan dalam perekonomian.
Perkembangan Pembangunan Perpajakan
Indonesia diwarnai oleh perubahan sumber pendanaan secara signifikan
pada tahun 1983. Beberapa ahli perpajakan Indonesia memandang bahwa tahun 1983
merupakan titik reformasi perpajakan (tax reform).
Perubahan ini ditandai oleh kemauan politik pemerintah untuk mengalihkan sumber
dana pembangunan yang sebelumnya lebih di pusatkan pada pendapatan dari sektor
minyak dan gas bumi (migas) ke pendapatan dari sektor pajak.
Penerimaan dari sektor
pajak terbesar merupakan
pajak penghasilan, dilihat
dari segi penerimaan. Pajak
Penghasilan dapat membantu
negara dalam membiayai
pengeluaran, namun tidak
semua orang dapat dikenakan
PPh. Pajak Penghasilan hanya
dapat dikenakan kepada orang
pribadi atau badan yang telah
berpenghasilan di atas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pelaksanaan pemungutan PPh
oleh pemerintah dirasa belum optimal
karena kurangnya kesadaran
masyarakat akan kewajiban
membayar pajak.
Kinerja pemerintah
mulai didefisienkan untuk
permasalahan pemungutan
pajak, salah satu yang
menarik di sini yakni termasuk
pendapatan negara adalah Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Subjek
BPHTB adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh
hak atas tanah dan atau
bangunan. Subjek BPHTB yang
dikenakan berkewajiban membayar
BPHTB menurut perundang-undangan
perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak. Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan
ini meliputi jual beli,
tukar–menukar, warisan, hadiah
dan sebagainya yang telah diatur
dalam perundang– undangan
perpajakan. Hak atas tanah
maupun bangunan merupakan
hak milik orang pribadi atau
badan usaha. Perhitungan
BPHTB tersebut terdapat
Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
sebagai pengurang Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP)
sedangkan tarif BPHTB 5 %
dari Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP). Sistem
yang baik harus diterapkan dalam
pemungutan pajak supaya diperoleh
hasil yang optimal. Pemungutan
pajak di Indonesia menganut
tiga sistem, yaitu Official
Assesment System, Self Assesment System, dan Withholding System. (Waluyo : 2006 ; 17)
Self Assesment System
ini diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), serta
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) & Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan pendapatan karena
semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan
sistem self assesment menuntut wajib pajak untuk aktif dalam melaksanakan
kewajiba maupun hak perpajakannya.
Pembahasan masalah di atas menjadikan
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapanya sistem self assessment tersebut pada para subjek BPHTB dalam
melaksanakan kewajiban membayar
BPHTB.
B. Rumusan Masalah
Perumusan
masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara
jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan
masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah
yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana
penerapan sistem Self
Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) ?
BAB II
PEMBAHASAN
1)
Penerapan
sistem Self
Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-UndangNomor
20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang
dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan lainnya.
Menurut
ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak
yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal
tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini
didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan
melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak” (BPHTB
Pasal 10 ayat 1 ).
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang
BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah
berdasarkan sistem self
asssessment yaitu
wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5
% (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang
BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada
pejabatpejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan
kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan
penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah,
untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan
dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif
pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB
adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai
Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, maka yang
digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan
Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya Nilai
Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri.
Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut:
BPHTB = Nilai
Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%
Sedangkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai besarnya
Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan
hak karena warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas
atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai
Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan dalam ayat (2) memuat bahwa
ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk
mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk
mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh
beberapa orang tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam
pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan
pajak pratama Surakarta.
a)
Penerapan
Self
Assesment System Dalam
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Surakarta
Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi
5 (lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan
Banjarsari. Lokasi KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim
Nomor 1 Surakarta 57147, telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor
Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari
Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) orang tenaga
paramedis.
b. Lapangan
tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna
membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai dengan nama KPN Direktorat
Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan kegiatan simpan
pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil DJP Jawa
Tengah II.
d. Mushola yang teletak di belakang
kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e. Kantin
yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak luar
dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan
yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü Kepala Kantor
ü Kelompok Jabatan Fungsional
ü Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü Sie Ekstensifikasi
ü Sie Waskon IV
ü Sie PDI
ü Sie Pemeriksaan
ü Sie Pelayanan
ü Sie Penagihan
ü Sie Waskon I
ü Sie Waskon II
ANALISIS
Disini peneliti melakukan pembahasan
permasalahan tentang penerapan sistem self assesment dalam
pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta mengetahui
penerapan sistem self assesment untuk
BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan
perpajakan.
Dalam
penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system sebagai salah satu sistem pemungutan
pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang menentukan besar pajak ada
pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan serta dalam
penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian
adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak
yang disebabkan oleh perbuatan hukum jual-beli.
Pelaksanaan
pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta, dalam
memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank
persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar
sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak
Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB,
ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua
puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa hukum pewarisan NPOPTKP
ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah)
Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%
( Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Untuk lebih jelasnya penulis akan
memberikan contoh penghitungan BPHTB kota Surakarta.
Contoh :
1. Pada tanggal 18 Februari 2012, Bapak Nurdin
membeli sebidang tanah yang terletak di Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar
Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Nurdin tsb adalah : 5%
x (50.000.000- 20.000.000) = Rp.
1.500.000,-
2. Pada tanggal 10 Juni 2012 Bapak Johar membeli sebuah
rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2
di Kota Surakarta dengan harga perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan
data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,-
(tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka
kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Johar tersebut adalah: 5% x
(600.000.000 - 20.000.000) = Rp.
29.000.000,-
Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di
Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai
dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana
disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota
Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai
dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa
diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan
faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai
Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya.
Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai
oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima)
rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai
bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar
pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut,
lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan
untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri
dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima
untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan.
Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut
selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk
bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No
|
Tahun
|
Anggaran/Target
|
Realisasi sampai dengan
Desember
|
Persen
|
1
|
2006
|
Rp.26.738.357.000
|
Rp. 13.656.104.000
|
51,07%
|
2
|
2007
|
Rp. 27.293.000.000
|
Rp. 21.802.606.000
|
79,88%
|
3
|
2008
|
Rp. 25.655.376.000
|
Rp. 30.366.526.176
|
118,36%
|
4
|
2009
|
Rp. 35.464.470.000
|
Rp. 39.568.136.752
|
111,57%
|
5
|
2010
|
Rp. 42.753.393.214
|
Rp.
43.688.716.095
|
102,19%
|
Rata-rata 92,62%
(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan
data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu
pada tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada
realisasinya. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari
anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun
penerimaan yang signifikan tejadi pada tahun 2008 selisih terbesar antara
anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176 (empat miliar tujuh ratus
sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Ada
beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1.
Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan
pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2. Nilai
Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai
harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea. Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Dari
penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi
di lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Mereka baru mengetahuinya
setelah akan melakukan peralihan hak dan mendapatkan penjelasan dari Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga
merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila harga pasar atau
nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan
menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila
Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak,
masyarakat akan berusaha menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak
(NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak
melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak, ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan
hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan
bahwa dalam pelaksanaan self
assessment system dalam pemungutan BPHTB di Kota
Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud
antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan yang dihadiri oleh Kepala Desa
yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan untuk disampaikan kepada
warga masyarakat di desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
Undang-UndangNomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus
dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak pengelolaan.
Menurut
ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak
yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal
tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB.
Perolehan
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di
Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai
dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana
disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota
Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai
dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa
diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan
faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai
Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya.
Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai
oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima)
rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai
bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar
pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut,
lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan
untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri
dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima
untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan.
Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut
selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk
bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
DAFTAR PUTAKA
Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.
Analisis Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta
Oleh : Legowo Dwi
Resihono
Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia ,
Surakarta 57149, Indonesia
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputuran Direktur
Jendral Pajak di Bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang - undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
thanks makalahnya bermanfaat ...
BalasHapus