Rabu, 26 Desember 2012

Materi Hukum Perdata Internasional


RESUME
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


UMS.jpg

Di Susun Untuk Melengkapi Tugas  Tengah Semester Mata Kuliah
Hukum Perdata Internasional Dengan Dosen Pengampu Aslamiyah , S.H.,M.Hum


Oleh    :
Andhika Della Permana Putra
C100100144   ( A )




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2011

PENDAHULUAN

Hukum Perdata Internasional (HPI) dapat dianggap sebagai bidang hukum yang dinamis dan selalu berkembang menyesuaikan diri pada perkembangan – perkembangan kebutuhan didalam masyarakat modern. Namun, HPI tidak dapat dianggap sebagai bidang hukum baru yang baru tumbuh di abad ke-20 karena asas-asas dan pola berpikir HPI sudah dapat dijumpai dan tumbuh di dalam pergaulan masyarakat di masa Kekaisaran Romawi (abad ke-2 sampai dengan abad ke-6 SM) seiring dengan pertumbuhan kebudayaan barat (Western civilization) di Eropa daratan.
Maka secara umum ada beberapa penggolongan model pendekatan HPI (PIL approach models) yang membedakan kelompok-kelompok pendekatan HPI dengan ukuran-ukuran yang berbeda, tetapi pada titik-titik tertentu dapat menjadi tumbuh satu sama lain.

1.      Pendekatan Berdasarkan Tujuan HPI
Ada dua jenis model pendekatan HPI ditinjau dari anggapan dasar tentang tujuan HPI yang berbeda, yaitu yang melihat :
a.       HPI yang bertujuan mewujudkan keadilan dalam perselisihan hukum(conflict justice).
b.      HPI yang bertujuan meujudkan keadilan substansial dalam setiap perkara(substantive justice).
ü  Kelompok yang pertama menhimpun teori-teori dan doktrin-doktrin HPI yang lebih mementingkan keseragaman pola penyelesaian perkara-perkara HPI dalam bidang-bidang hukum tertentu, di manapun dan berdasarkan hukum apapun perkara diselesaikan (decisional harmony).
ü  Kelompok yang kedua berhimpun teori-teori HPI yang lebih mengutamakan pengupayaan keadilan subtansial dalam setiap perkara yang dihadapi, dengan memerhatikan kondisi dan situasi khusus yang melingkupi perkara.
1.            Pendekatan Berdasarkan Hasil yang Dicapai dari Proses HPI
Bedasarkan ukuran ini orang membedakan antara :
a.       Pendekatan HPI yang berfungsi menetapkan system hukum yang seharusnya berlaku atas semua persoalan hukum yang dapat timbul dari sebuah perkara HPI
b.      Pendekatan HPI yang berfungsi memilih dan menetapkan aturan hukum local yang harus diberlakukan atas masalah masalah hukum tertentu yang terbit dari sebuah perkara HPI tertentu.

2.            Pendekatan Berdasarkan Metodologi Penetapan Hukum yang Harus Diberlakukan
a.      Pendekatan lex fori
Yang beranggapan bahwa pengadilan yang mengadili perkaralah yang akan memberlakukan hukumnya sendiri untuk memutus perkara yang dihadapinya.
b.      Pendekatan multilateralism
yang bertitik tolak dari prinsip bahwa pengadilan harus bersikap netral dan menetapkan terlebih dahulu tempat kedudukan dari hubungan hukum yang menjadi perkara dengan bantuan titik-titik taut.
c.       Pendekatan unilateralism
Yang beranggapan bahwa forum harus menentukan aturan hukum di antara aturan-aturan hukum yang relevan (baik dari lex fori maupun hukum asing) yang akan di berlakukan untuk menyelesaikan hukum tertentu yang timbul dalam suatu hubungan hukum.

d.      Pendekatan Hukum Substantif
Yang cenderung menyelesaikan persoalan-persoalan HPI dengan menggunakan asas-asas atau aturan- aturan hukum subtansif(hukum materiil) yang diterima dan diakui secara internasional.
e.       Pendekatan elektrik (eclecticism)
Yang menurut Prof. Juenger menggambarkan kecenderungan untuk mengakomodasi semua pendekatan yang berbeda-beda itu dan mengkombinasikannya dalam penetapan hukum atau aturan hukum yang seharusnya berlaku dalam penyelesaian suatu perkara. Secara kasuistik, elemen-elemen yang diunggulkan oleh masing-masing pendekatan terdahulu itu dapat digunakan untuk menetapkan hukum/aturan hukum yang diberlakukan, bergantung dari pertimbangan-pertimbangan yang khas yang terbit dari kondisi dan situasi setiap perkara.
Terlepas dari perbedaan model-model pendekatan tersebut di atas, khususnya di Eropa daratan sampai dengan abad ke-19 yang dianggap sebagai masa di mana pendekatan tradisional HPI (the traditional approach) mencapaipuncak pertumbuhannya dan mewarnai pola penyelesaian perkara-perkara HPI di Eropa daratan dan juga di inggris sampai dengan saat ini.
















SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A.                MASA KEKAISARAN ROMAWI (ABAD KE-2 – 6 SESUDAH MASEHI)
Pada masa ini pola hubungan internasional dalam wujudnya yang sederhana sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara :
1.      Warga (cives) Romawi dengan penduduk prvinsi-provinsi atau minicipia (untuk wilayah di italia, kecuali Roma) yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan.
2.      Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.

Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Yang diberlakukan oleh hakim Praetor Peregrinis adalah hukum yang dibuat untuk para cives Romawi, yaitu Ius Civile, tetapi yang telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan “antar bangsa”, yang kemudian berkembang menjadi Ius Gentium.
Ius Gentium terdiri dari :
a.      Ius Privatuum, mengatur persoalan-persoalan hukum orang-perorangan.    
Ius Privatuum inilah yang menjadi cikal bakal HPI    yang berkembang dalam tradisi Eropa Kontinental.
b.      Ius Publicum, mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan publik. Ius Publicum berkembang menjadi sekumpulan asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara Kekaisaran Romawi dengan negara-negara lain (cikal bakal Hukum Internasional Publik).
Prinsip HPI pada masa ini dilandasi asas teritorial, artinya perkara-perkara yang menyangkut warga-warga propinsi tunduk pada Ius Gentium sebagai bagian dari hukum kekaisaran.
Beberapa asas HPI yang tumbuh dan berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam HPI modern adalah :
1.      Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)
Yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu terletak.
2.      Asas Lex Domicilii
Yang mentapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus di atur oleh hukum dari tempat seseorang berkediam tetap
3.      Asas Lex Loci Contractus
Yang mentapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

B.                 MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (Abad ke-6 s/d Abad ke-10)
Pada akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa barbar dari wilayah-wilayah bekas propinsi-propinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajaran Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa yang dibedakan secara genealogis dan bukan territorial. Masing-masing suku bangsa memberlakukan kaidah-kaidah hukum adat, hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama mereka. Dalam menyelesaikan sengketa antar suku bangsa, ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem hukum adat mana yang relevan dengan perkara, kemudian baru dipilih hukum mana yang harus diberlakukan.
Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis :
a.       Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian hukum, maka hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat;
b.      Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak;
c.       Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris;
d.      Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor;
e.       Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan berdasarkan  hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum;
f.        Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

C.                PERTUMBUHAN ASAS TERITORIAL(Abad ke-11 s/d Abad ke -12)
Pertumbuhan asas personal genealogis semakin sulit untuk dipertahankan mengingat terjadinya transformasi struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat yang teritorialistik di seluruh wilayah Eropa.
Ada 2 Kawasan Eropa yang sangat mencolok proses transformasinya :
a.      Pertumbuhan di Eropa Utara
Di kawasan ini (Jerman, Prancis, Inggris) masyarakat bertransformasi menjadi masyarakat teritorialistik melaui tumbuhnya kelompok-kelompok feodalistik. Unit-unit masyarakat yang berada di bawah kekuasaan feodal (tuan-tuan tanah) cenderung memberlakukan hukum mereka secara eksklusif. Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing dan tidak ada perkembangan HPI yang berarti.
b.      Pertumbuhan di Eropa Selatan
Transformasi berlangsung ke arah masyarakat teritorialistik disebabkan oleh pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia. Dasar ikatan manusia dikarenakan tempat kediaman di kota yang sama.
Kota-kota yang dimaksud di sini adalah :
ü  Kota-kota perdagangan, seperti Milan, Florence, Venetia, Bologna, Padua, Genoa, dan sebagainya yang merupakan pusat-pusat perdagangan;
ü  Dapat dianggap sebagai kota-kota yang otonom, dengan batas-batas wilayah yang tertentu, dan
ü  Dengan system hukum lokalnya sendiri yang berbeda dari kota ke kota, dam juga berbeda dari hukum Romawi yangberlaku secara umum di seluruh Italia.
Asas-asas hukum yang digunakan untuk menjawab perkara-perkara hukum perselisihan antara kota inilah yang dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori HPI yang penting, yang dikenal dengan sebutan teori Statuta.

D.                PERTUMBUHAN TEORI STATUTA
1.      Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke-13 s/d abad ke-15)
Semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar kota di Italia menyebabkan asas teritorial perlu ditinjau kembali.
Misal :
Seorang warga Bologna yang berada di Florence, dan mengadakan perjanjian di Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial, selama ia berada di kota Florence ia harus tunduk pada kewenangan hukum di kota Florence.
Pemasalahannya :
ü  Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di Bologna ?
ü  Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna ?
Catatan :
Tindakan menyempurnakan Corpus Iuris sebagai kodifikasi yang berlaku di seluruh Italia untuk digunakan dalam mengembangkan statuta-statuta intern kota-kota diwujudkan melalui perumusan tafsiran-tafsiran baru dan pembuatan catatan-catatan tentang interprestasi terhadap Corpus Iuris yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kota. Dilakukan oleh Kelompok Glossators, yang lebih banyak difokuskan pada penyempurnaan kaidah-kaidah hukum intern kota, tidak banyak memberikan sumbangsih pada perkembangan HPI.
Di abad ke-14 s/d abad ke-15 penafsiran dan penyempurnaan terhadap kaidah2 hukum di dalam Corpus Iuris dilakuakn khusus untuk membangun asas-asas hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum perselisihan (antarkota).
Dilakukan oleh kelompok Post Glossators, dengan memusatkan perhatian pada upaya mencari dasar hukum baru untuk menyelesaikan persoalan2 hukum yang melibatkan kewenangan hukum dari 2 atau lebih kota. Terhadap perkembangan HPI dan pemikiran kelompok inilah muncul teori statuta.                                                                                                                                                                   
A.    Dasar2 Teori Statuta
Tumbuhnya teori statuta diawali oleh seorang tokoh Post Glassator : Accursius yang mengatakan:
Bila seseorang yang berasa dari kota tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain itu, karena ia bukan subjek hukum dari kota lain itu”.
Gagasan Accursius menarik perhatian Bartolus de Sassoferato (Bapak HPI). Bartolus mencetuskan Teori Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama yang mendekati persoalan-persoalan hukum perselisihan secara metodik dan sistematik.
Upaya yang dilakukan oleh Bartolus :
a.   Mengembangkan asas2 yang dapat digunakan secara praktis   untuk mementukan wilayah berlaku dari setiap aturan hukum     yang berlaku di sebuah kota di Italia.
b.  Mengklasifikasi tentang jenis-jenis hubungan atau persoalan     hukum apa saja yang mungkin dimasukkan ke dalam lingkup    berlaku statuta2 sebuah kota.
c.    Menyimpulkan apakah statuta dari sebuah kota di Italia :
ü  Dapat diberlakukan juga bagi orang2 yang bukan warga kota        yang bersangkutan ?
ü  Dapat memiliki daya berlaku juga di wilayah kota yang     bersangkutan (ekstra-teritorialitas)?

Kesimpulan Teori Statuta :
1.   Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok :
a.     Statuta Personalia          
Statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan hukum       atau status personal orang.
b.    Statuta Realia
Statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda.
c.           Statuta Mixta
Statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum.

2.   Setiap jenis statuta dapat ditentukan ruang lingkup atau wilayah berlakunya secara tepat, yaitu :
a.   Statuta Personalia
ü  Objek pengaturan :  orang dalam persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga.
ü  Lingkup berlaku :             ekstra-teritorial, berlaku juga di luar wilayah.
Statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang berkediaman tetap di wilayah kota yang bersangkutan, namun statuta ini akan tetap melekat dan berlaku atas mereka, diamana pun mereka berada.
b.   Statuta Realia
ü  Objek pengaturan : benda dan status hukum dari benda.
ü  Lingkup berlaku :          prinsip territorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota kekuasaan penguasa.
            Statuta ini akan tetap berlaku terhadap siapa saja  (warga kota ataupuan pendatang / orang asing) yang berada dalam teritorial yang bersangkutan.
c.     Statuta Mixta
ü  Ojek pengaturan :        perbuatan-perbuatan hukum oleh subjek hukum atau perbuatan-perbuatan hukum terhadap benda-benda.
ü  Lingkup berlaku :        prinsip teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi atau dilangsungkan dalam wilayah pengusaan kota.
Statuta ini berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang / orang asing) yang berada di wilayah kota yang bersangkutan.




B.     Penggunaan Teori Statuta dalam HPI modern
Pembedaan ke dalam statuta Personalia, Realia, dan Mixta tidak lagi dilihat sebagai hukum yang mengatur suatu kota akan tetapi sebagai kategori untuk mengkualifikasikan pokok perkara yang sedang dihadapi dan kemudian digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan lex cause.
Dalam menentukan Lex Cause, maka bila perkara dikualifikasikan sebagai perkara tentang:
v  Status benda, maka lex causenya adalah hukum dari tempat dimana benda terletak / berada (lex situs).
Dalam perkembangan HPI, asas di atas hanya cocok untuk benda tidak bergerak (immovables). Sedang untuk benda-benda bergerak digunakan asas lain, yaitu Mobilia Sequntuur Personam, yaitu mengenai benda-benda bergerak maka hukum yang mengatur adalah hukum dari tempat pemilik benda bergerak tersebut.
v  Status orang / badan hukum, maka lex cause yang harus digunakan adalah hukum dari tempat dimana orang atau subjek hukum itu berkediaman tetap (lex domicili) (atau berkewarganegaraan /  Lex patriae).
v  Status perbuatan-perbuatan hukum, maka lex cause-nya adalah hukum dari tempat dimana perbuatan itu dijalankan (lex loci actus
Contoh :
ü  A berasal dari kota Milan, berdasarkan statuta Milan melakukan transaksi jual beli dengan B dari Venesia. Objek jual beli adalah sebidang tanah di kota Roma. Bila timbul perkara tentang status pemilikan tanah di Roma tersebut, bagaimana penyelesaiakn menurut teori statuta?
Ø  Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara realia, perkara ini harus diselesaikan berdasarkan hukum tanah Roma.

ü  C  adalah warga yang berkediaman tetap di kota Genoa. Di kota ini, C dianggap sebagai orang yang sudah mampu melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Namun dimikian di kota Florence, karena kaidah-kaidah hukum yang berbeda, C dianggap belum mampu melakukan perbuatan hukum sendiri. Seandainya pekara ini dipersoalkan di Pengadilan Florence, maka bagaimana penyelesaian berdasarkan teori statuta ?
Ø  Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara Personalia, dan status personal C akan ditentukan berdasarkan hukum Genoa sebagai Lex Cause.

ü  D  adalah warga kota Turin. Ketika ia berada di kota Pisa, ia telah melakukan perbuatan yang merugikan E, seorang warga Pisa, dan E kemudian menuntut ganti kerugian dari D di pengadilan Pisa. Apabila perkara diajukan di Pengadilan Pisa, maka bagaimana penyelesaiannya berdasarkan teori statuta ?   
Ø  Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara mixta, dan pengadilan Pisa akan menetapkan apakah D telah melakukan perbuatan melawan hukum dan E berhak atas ganti kerugian berdasarkan hukum Pisa sebagai hukum dari tempat dimana perbuatan dilaksanakan.
Kelemahan :
Upaya untuk menetapkan dengan tegas perkara-perkara apa yang harus diklasifikasikan ke dalam kaidah-kaidah realia, personalia atau mixta ternyata tidak selalu mudah dilaksanakan.

Misal :
Kemampuan hukum seseorang untuk mengalihkan hak milik atas tanah. Apakah Personalia atau Realia?
Perbuatan hukum yang sasarannya adalah       benda tetap. Apakah Realia atau Mixta ?
Bartolus menjawab kritik semacam ini dengan menggunakan Penafsiran Gramatikal :
Suatu statuta adalah realia, bila rumusan statuta itu diawali dengan istilah benda terlebih dahulu, demikian pula suatu statuta adalah personalia, bila perumusannya diawali dengan penyebutan tentang orang dan subjek hukumnya terlebih dahulu.



2.      Perkembangan Teori Statuta Di Perancis ( Abad ke-16 )
a.      Situasi Ketatanegaraan di Perancis Abad ke-16
Situasi pada saat itu mendorong orang untuk mempelajari hukum perselisihan secara intensif. Provinsi-provinsi di Perancis, dari segi ketatanegaraan merupakan bagian dari Negara perancis, ternyata secara de facto merupakan wilayah-wilayah yang berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang mengingatkan orang pada perkembangan kota-kota di Italia beberapa abad sebelumnya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa :
ü  Masing-masing provinsi memiliki system hukum lokalnya sendiri ( coutume ). Jadi, yang dimaksud dengan statute di sini adalah hukum lokal dari provinsi-provinsi.
ü  Meningkatnya aktivitas perdagangan antar provinsi di Perancis mengakibatkan bertemunya kaidah-kaidah hukum berbagai provinsi dalam konflik-konflik hukum antar provinsi.
b.      Cara Penyelesaian
Para ahli hukum Perancis berusaha mendalami dan memodifikasi teori ststuta Italia dan menerapkannya dalam konflik antarprovinsi di Perancis. Beberapa tokoh yang dikenal sebagai tokoh teori statuta Perancis adalah :
v  Dumoulin        (  1500-1566 )
v  D’Argentre       (  1523-1603 )
Pendapat Dumoulin
Pandangan Dumoulin ini tumbuh pada masa Renaissance di Eropa, di mana kebebasan individual menjadi inti dari kehidupan manusia di segala bidang. Kebebasan individu ini juga merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran tentang hukum, khususnya di bidang hukum perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract, contractsvrijheid) yang merupakan salah satu tiang utama dalam hukum perjanjian modern juga mulai diintrodusir pada masa ini. Menurut Dumoulin, dalam konteks penetapan hukum yang harus berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu ini juga dicerminkan dalam kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku atas kontrak mereka.




Menurut Dumoulin :
1.      Pihak-pihak ( subjek hukum )dalam perjanjian pada dasarnya memiliki kebebasan berkontrak.
2.      Kebebasan berkontrak antara lain, diwujudkan juga dalam kebebasan untuk memilih hukum apa yang hendak mereka berlakukan dalam kontrak mereka.
3.      Kebebasan orang untuk memilih hukum yang berlaku atas perjanjian sebenarnya mirip dengan persoalan status personal seseorang.
4.      Sebagai persoalan status personal, maka kebebasan ini akan melekat terus pada diri orang-orang yang akan menjadi pihak-pihak dalam perjanjian dimana pun mereka berada dan membuat perjanjian.
5.      Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam lingkup statute personalia dan memiliki sifat ekstrateritorial.
6.      Jadi Dumoulin sebenarnya memperluas ruang lingkup statuta  personalia Bartolus dan memasukkan perjanjian ke dalamnya.

Pendapat D’Argentre
1.      D’Argentre mengakui bahwa ada beberapa statuta yang benar-benar mengatur tentang kecakapan seseorang secara yuridis dan masuk ke dalam statuta personalia, tetapi;
2.      Banyak statute yang mengatur kedudukan orang (personalia), tetapi dalam kaitannya dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia), atau;
3.      Banyak statute yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (realia atau mixta), tetapi yang dilakukan di wilayah provinsi tertentu;
4.      Statuta-statuta semacam itu (2) dan (3) harus di kategorikan sebagai statuta realia karena isinya berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukan statute itu;
5.      Dalam kaitan itu yang harus diutamakan adalah otonomi dari provinsi-provinsi (di Perancis) dan bukan otonomi subjek hukum (seperti kata Dumoulin) sehingga;
6.      Yang dikehendaki oleh  D’Argentre sebenarnya adalah memperluas ruang lingkup statute realia dan memasukkan perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum lain ke dalam lingkup statute realia.


3.      Perkembangan Teori Statuta di Belanda ( Abad Ke-17 s/d Abad 18 )
Prinsip dasaryang dijadikan titik tolak dalam teori statute Belanda adalah kedaulatan eksekutif Negara. Jadi, statute yang dimaksud adalah hukum suatu Negara yang berlaku di dalam territorial suatu Negara.
Tokoh-tokoh teori statute Belanda adalah :
a)      Ulrik Huber    ( 1636 – 1694 )
Pandangan Ulrik Huber
Untuk menyelesaikan perkara HPI, Ulrik Huber berpandangan bahwa orang harus bertitik tolak dari tiga prinsip dasar, yaitu bahwa :
Ø  Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial Negara itu.
Ø  Semua orang/subjek hukum yang secara tetap atau sementara berada di dalam teritorial wilayah suatu Negara berdaulat :
ü  Merupakan subjek hukum dari Negara tersebut, dan
ü  Tunduk serta terikat pada hukum Negara tersebut.
Ø  Namun, berdasarkan prinsip sopan santun antar Negara (comitas gentium), hukum yang berlaku di Negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari Negara pemberi pengakuan.
Selanjutnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI, maka ketiga prinsip di atas harus ditafsirkan dengan memerhatikan dua prinsip lain, yaitu bahwa suatu perbuatan hukum yang dilakukan di suatu tempat tertentu dan :
Ø  Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat, harus diakui/dianggap sah juga di Negara lain, (termasuk di Negara forum) meskipun hukum negar a lain itu menganggap perbuatan semacam itu batal atau
Ø  Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat, akan dianggap batal dimana pun, termasuk didalam wilayah Negara forum.

Jadi, dalam HPI menurut Huber :
ü  Setiap Negara memiliki kedaulatan sehingga Negara memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya, tetapi
ü  Dalam kenyataan, Negara-negara itu tidak dapat bertindak secara bebas, dalam arti bahwa berdasarkan asas comitas gentium Negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang telah diperoleh secara sah di Negara lain.

Pandangan Johannes Voet
Johannes Voet menegaskan kembali ajaran comitas gentium, dengan menjelaskan sebagai berikut  :
Ø  Pemberlakuan hukum asing di suatu Negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional (public) atau karena sifat hubungan HPI-nya.
Ø  Suatu Negara asing tidak dapat menuntut pengakuan/pemberlakuan kaidah hukumnya di wilayah hukum suatu Negara lain.
Ø  Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antarnegara (comitas gentium).
Ø  Namun demikian, asas comitas gentium ini harus ditaati oleh setiap Negara dan asas ini harus dianggap sebagai bagian dari system hukm nasional Negara itu.
Salah satu asa HPI yang menjadi penting artinya bagi penganut teori statute Belanda (teori comitas gentium) adalah asas locus regit actum, menyatakan bahwa “tempat dimana perbuatan dilakukan akan menentukan bentuk hukum dari perbuatan itu”.

E.                 TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE-19 )
Tokoh pencetus teori ini adalah Friedrich Carl v. Savigny di Jerman. Pemikiran Savigny juga berkembang setelah di dahului oleh pemikiran ahli hukum jerman lain, yaitu C.G. von Wachter.
v  Pandangan C.G. Von Wachter
Wachter mengktritik teori statute (italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dan suatu aturan (seperti statute personalia) karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di Negara asing. Wachter berasumsi bahwa, Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum local saja. Karena itu dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah HPI atau yang menentukan hukum apa yang harus berlaku.
Elemen penting dari pemikiran Wachter adalah bahwa ia berusaha meninggalkan klasifikasi ala teori statute dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum tertentu.
v  Pandangan F.C. Von Savigny
Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa “ untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat di tentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya”, dengan melihat pada hakikat dari hubungan hukum tersebut. Jika orang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban menentukan tempat kedudukan hukum/legal seat dari hubungan hukum itu. Selain itu, Savigny juga beranggapan bahwa legal seat itu harus di tetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuan titik-titik taut. Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, system hukum dari tempat itulah yangbakan digunakan sebagai lex causae.