Selasa, 22 Oktober 2013

MEKANISME ARBITRASE


 MEKANISME ARBITRASE SESUAI DENGAN UU NO 30 TH 1999

Proses arbitrase diawali dengan penyampaian tuntutan oleh pemohon. Pasal 38 UU 30/1999 menyatakan bahwa dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a.         nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
b.        uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti; dan isi tuntutan yang jelas.

Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon (Pasal 39).
Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu (Pasal 40).

Pada sidang pertama dinyatakan dibuka namun tertutup untuk umum (Pasal 27). Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan (Pasal 28).
Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut (Pasal 45). Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian tidak berhasil. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal46).
Apabila pada hari yang ditentukan, pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai (Pasal 43). Apabila pada hari yang telah ditentukan, termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum (Pasal 44).
Pada sidang tersebut, setelah tuntutan dibacakan oleh arbiter maka termohon dapat menyampaikan surat jawaban dan sekaligus menyampaikan tuntutan balik. Tuntutan balasan/balik tersebut selanjutnya diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa (Pasal 42).
Termohon juga dapat menyampaikan hak ingkar apabila memiliki keyakinan bahwa arbiter tidak memenuhi syarat-syarat arbiter pada Pasal 12. Pasal 12 ini memuat syarat arbiter yang meliputi cakap melakukan tindakan hukum; berumur paling rendah 35 tahun; tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satupihak bersengketa; tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Hak ingkar tersebut tertuang pada Pasal 22.
Apabila temohon dapat membuktikan tuntutan hak ingkar tersebut maka arbiter dapat diganti. Penggantian arbiter ini diatur pada Pasal 24 jika tuntutan hak ingkar disetujui oleh pemohon, dan Pasal 25 jika tuntutan hak ingkar tidak disetujui oleh pemohon.
Atas jawaban termohon dan juga rekonvensi termohon tersebut maka dilanjutkan sidang selanjutnya dan pada sidang tersebut pemohon diminta menanggapi jawaban temohon dan pemohon juga dapat menanggapi rekonvensi termohon.
Pada sidang selanjutnya termohon diminta menanggapi pemohon. Selanjutnya sidang digunakan oleh majelis arbiter untuk melakukan pertanyaan kepada pemohon dan termohon. Pada kesempatan itulah pemohon dan termohon melakukan jawab menjawab disertai dengan bukti-bukti. Para pihak dimana dalam jawab menjawab tersebut harus mengajukan argumentasi sesuai point jawaban sebelumnya.
Untuk alat bukti saksi dalam proses pembuktian telah diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50. Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris (Pasal 51).
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase (Pasal 55).
Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57).
Putusan arbitrase harus memuat :
a.         kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.        nama lengkap dan alamat para pihak;
c.         uraian singkat sengketa;
d.        pendirian para pihak;
e.         nama lengkap dan alamat arbiter;
f.         pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
g.        pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;
h.        amar putusan;
i.          tempat dan tanggal putusan; dan
j.          tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
(Pasal 54).


Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) harisetelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58).
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepadaPanitera Pengadilan Negeri. Tidak dipenuhinya ketentuan diatas berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak (Pasal 59).
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Perintah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 62).
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan (Pasal 63). Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 64).
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60).



LEMBAGA NEGARA


LEMBAGA NEGARA
Oleh: Iswanto

Sebenarnya, secara sederhana, istilah organ Negara atau lembaga Negara adalah untuk dapat dibedakan dengan istilah organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau sering  disebut sebagai organisasi non pemerintah (Ornop) yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Governmental Organizations (NGO’s). Organ atau lembaga Negara dapat berada dalam ranah legislative, eksekutif, yudikatif, ataupun lembaga-lembaga penyelenggara Negara lainya[1].
            Definisi dan pengertian tentang lembaga Negara sangatlah beragam, lembaga Negara tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif (Montesqueu)[2]. Dalam setiap pembicaraan mengenai Organ atau Lembaga negara, ada dua unsure pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan Fungsi . Organ adalah berbicara tentang bentuk atau wadahnya, sedangkan fungsi adalah gerkan dari wadah itu sesuai dengan maksud pembentukanya[3]. Menurut Harjono, fungsi mempenyai makna yang lebih luas darpi pada tugas. Tugas lebih tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat terlaksana dengan baik. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yng sifatnya kedalam, sedangkan tugas mempunyai aspwk keluar maupun kedalam, aspek keluar dari tugas adalah wewenang, oleh karena itu sering disebut secara bersamaan, yaitu tugas dan wewenang[4].
            Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut eksplisit namanya, seperti misalnya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwkilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamh Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lain-lain,  juga ada yang hanya disebut fungsinya (seperti misalnya Kejaksaan, KPK, Komnas HAM dll.), tapi juga ada yang disebut baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah, (contoh Bank Setral).
            Jika dikaitkan dengan hal tersebut diatas, maka dapat dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat tidak kurang dari 34 Lembaga Negara. Mengingat ketersediaan waktu dalam kuliah Hukum Tata Negara II, yang terkait dengan materi Lembaga Negara, saya hanya akan menyampaikan beberapa Lembaga Negara Utama, yaitu Lembaga Negara MPR, DPR, DPD, Kepresidenan, MA, MK, KY, dan BPK.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)
            Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, sebenarnya Indonesia belum merupakan Negara apalagi memiliki Lembaga Negara. Hal ini disebabkan Indonesia belum mempunyai suatu UUD yang mengatur suasana kekuasaa Negara yang merdeka, meskipun suatu Negara Indonesia sudah dipermaklumkan untuk berdiri melalui sebuah proklamasi kemerdekaan. Proklamasi baru merupakan pernyataan kehendak suatu bangsa untuk merdeka, namun belum merpakan wujud dari Negara itu sendiri[5].
            Lembaga-lembaga Negara secara yuridis terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mensyahkan Uadang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum Dasar yang digunakan oleh Negara Indonesia.Pada tanggal 18 Agustus 1945 ini pula pemerintahan Indonesia terbentuk, yaitu tatkala PPKI memilih Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
            Pertama-tama Lembaga Negara yang terbentuk adalah lembaga Kepredidenan, kemudian disusul Mahkah Agung yang diketuai oleh Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, Jaksa Agung diketui oleh Mr. Gatot, Sekretaris Negara Mr. A. G. Pringgodigdo, Juru Bicara Negara, Soekardjo Wirjopranoto, dengan demikian dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah lembaga Legislatif dan Yudikatif. Sedangkan lembaga MPR dan DPR belum terbentuk[6].
            Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dibantu Komite Nasional Pusat (KNP)[7].
            Pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden atas usul Komite Nasinal Pusat mengumumkan Maklumat No. X yang menetapkan bahwa “ Komite Nasinal Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara”. Berdasarkan Maklumat itu pula dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.[8] .
            Untuk menghindarkan kesalah pahaman terhadap status dan fungsinya,  Badan Pekerja Komite Nasional Pusat menjelaskan kedudukanya sesudah lahirnya Maklumat No. X, bahwa Badan Bekerja Berkewajiban dan berhak:
  1. turut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, ini berarti bahwa Presiden bersama-sama dengan Badan Pekerja menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara,
  2. menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintahan[9].
Berdasarkan Maklumat No. X,  tampak bahwa kedudukan Komite Nasinal Pusat hanyalah sementara, yaitu sebelum MPR dan DPR terbntuk. Dilihat dari sisi kewenangan yang dimiliki Komite Nasional jugan bukan merupakan MPR, karena hanya berwenang ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan Negara, demikian pula juga bukan DPR, karena hanya membidangi salah satu kewenangan DPR, yaitu bersama-sama Presiden membuat Undanfg-undang.
Perubahan terjadi bersamaan dengan perubahan system pemerintahan presidensiel menjadi system pemerintahan parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yaitu mendudukan Komite Nasinal Pusat berfungsi sebagai parlemen.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dari tahun 1945-1949, pada dasarnya Komite Nasional Pusat juga telah melakukan fungsinya sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat  yaitu selain ikut serta menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945), juga melaksanakan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk merubah UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, hal ini terlihat dari;
  1. terkait dengan keluarnya Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945,
  2.  Pada tanggal 11 November 1945, Komite Nasinal Pusat  mengusulkan system pertanggung jawaban menteri, yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
  3. Tanggal 15 Desember 1949, Komite Nasional Pusat menyetujui Rancangan UUD RIS, dan Presidn mengesahkan menjadi UU No. 11 Tahun 1949 tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
  • Pembubaran Konstituante,
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
  • Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
  • MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
  • Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
  • Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  • Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
  • MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
MPR MENURUT UUD 1945
            Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa; “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, kemudian dalam penjelasan umum UUD 1945,  Sistem Pemerintahan Negara Romawi III, dikatakan Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lebih lanjut penjelasan UUD 1945 mengatakan, Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjilmaan seluruh rakyat Indonesia, dan dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2), dikatakan bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara tertinggi, Majelis ini dianggap sebagai penjilmaan rakyat yang memegang kedaulatan Negara.
            Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) mengatakan; “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah, dangolongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian penjelasan Pasal 2 ayat (1) mengatakan; “maksudnya ialah seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjilmaan dari rakyat.
            Berdasarkan ketentuan tersebut maka ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat ditafsirkan[10];
    1. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu identik dengan rakyat,
    2. Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencerminkan kehendak rakyat karena seluruh lapisan dan golongan rakyat akan diwakili dalam majelis ini.
Dikatakan sebagai penjilmaan dari rakayat, karena anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat terdiri dari keterwakilan politik yang direpresentasikan anggota-anggata Dewan Perwakilan Rkyat, keterwakilan Daerah direpresestasikah Utusan Daerah, dan Keterwkilan ekonomi yang direpresentasikan oleh Utusan Golongan.
Selain pemegang kedaulatan rakyat, menurut Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai beberapa kewenangan, yaitu;
1.                           Menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara (Pasl 3)
2.                           Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2)
3.                           mengubah Undang-undang Dasar (Pasal 37)
4.                           meminta pertanggung-jawaban Presiden (Penjelasan UUD 1945).
. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur dengan undang-undang (Pasal 2 ayat (1). Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya baru terbentuk pada tahun 1972 berdasarkan Pemilihan Umum tahun 1971. untuk itu maka dalam membicarakan tentang pembentukan (pengisian) anggota MPR perlulah kiranya kita melihat Undang-undang No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam UU No. 15 Tahun 1969 sebenarnya tidak diatur tentang mekanisme pengisian anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun pemilu yang diadakan untuk mengisi anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II (Pasal 1 ayat (1), kemudian Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pemilihan umum yang dilakukan berdasarkan undang-undang ini adalah juga untuk mengisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kalau anggota MPR terdiri dari anggota DPR, utusan Daerah, dan Utusan Golongan, maka menurut Pasal 1 UU No. 15 tahun 1969 baru mengisi sebagian anggota MPR, karena tidak diatur tentang tata cara pengisisan anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan, maka pertanyaanya adalah bagaimana pengisian anggota MPR dari utusan Daerah dan Utusan Golongan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 16 Tahun 1969 yang mengatakan bahwa; Anggota tambahan MPR terdiri dari;
a.       Utusan Daerah seperti tersebut dalam Pasal 8
b.      Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya ditetapkan berdasarkan imbangan hasil pemilihan umum;Organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu utusan di MPR yang jumlah keseluruhan tidak melebihi sepuluh orang utusan,
c.       Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang dietapkan berdasarkan pengangkatan
Ketrentuan tentang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tersebut, menurut hemat penulis menyimpang dari ketentuan UUD. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yang dimaksud dengan Utusan Golongan adalah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan system koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingatkan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi, jadi yang dimaksud dengn golongan adalah adanya keterwakilan golongan ekonomi dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan Golongan Politik dan Golongan Karya.
Dalam pengertian bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan penjilmaan dari Rakyat Indonesia, maka kedudukan Majelis sangatlah kuat. Artinya semua kekuasaan negara ada di Majelis, sehingga menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada pembagian kekuasaan, yang ada adalah pendistribusian kekuasaan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada lembaga-lembaga Negara lainya.

MPR MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD Hasil Amandemen).
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan Pasal 1 ayat (2) diubah menjadi;”Kedaulatan berada ditangan akyat dan dilaksankan menurut Undang-undang Dasar.  Perubahan Pasal 1 ayat (2) ini mengandung tiga makna, yaitu :
  1. Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang ditetapkan dalam UUD, tidak lagi dipegang oleh MPR
  2. Kedaulatan Rakyat harus tunduk pada konstitusi (supremasi konstitusi)
  3. Kedaulatan rakyat dibatasi aturan UUD (demokrasi konstitusional)



[1] Jimly Assisddiqie, Perkembangan dan konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ri. 2006, hlm 31.
[2] Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2007, 89
[3] Jimly Assiddiqie, Op. Cit, 99
[4] Harjono, dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, Jakarta, 2010, 158
[5] Aisyah Aminy,2002, Pasang surut Peranan DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur Sawiah bekerja sama dengan PP Wanita Islam, Jakarta, 1
[6] Aisyah Aminy, Ibid, 6
[7] Pasal IV Aturan Peralihan.
[8] Ismail Suny, 1977, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 28.
[9] Ismail Suni, Ibid, 29
[10] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 43

MAKALAH HUKUM PAJAK 2


MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM PAJAK DAN RETRIBUSI
TENTANG
“PROBLEMATIKA PENERAPAN SISTEM SELF ASSESMENT DALAM PEMUNGUTAN BPHTB DI TINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ”
UMS.jpg

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Retribusi
Dengan Dosen Pengampu Salman Al Farizy, S.H.,M.Kn

OLEH
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
C 100100144 ( A )


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Keberhasilan ekonomi suatu Negara dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Peran pemerintah sebagai stabilator perekonomian dapat dijalankan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan dalam perekonomian. Perkembangan Pembangunan Perpajakan  Indonesia diwarnai oleh perubahan sumber pendanaan secara signifikan pada tahun 1983. Beberapa ahli perpajakan Indonesia memandang bahwa tahun 1983 merupakan titik reformasi perpajakan (tax reform). Perubahan ini ditandai oleh kemauan politik pemerintah untuk mengalihkan sumber dana pembangunan yang sebelumnya lebih di pusatkan pada pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) ke pendapatan dari sektor pajak.
Penerimaan dari sektor pajak terbesar merupakan pajak penghasilan, dilihat dari segi penerimaan. Pajak Penghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pelaksanaan pemungutan PPh oleh pemerintah dirasa belum optimal karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kewajiban membayar pajak.
Kinerja pemerintah mulai didefisienkan untuk permasalahan pemungutan pajak, salah satu yang menarik di sini yakni termasuk pendapatan negara adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan berkewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ini meliputi jual beli, tukar–menukar, warisan, hadiah dan sebagainya yang telah diatur dalam perundang– undangan perpajakan. Hak atas tanah maupun bangunan merupakan hak milik orang pribadi atau badan usaha. Perhitungan BPHTB tersebut terdapat Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai pengurang Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sedangkan tarif BPHTB 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sistem yang baik harus diterapkan dalam pemungutan pajak supaya diperoleh hasil yang optimal. Pemungutan pajak di Indonesia menganut tiga sistem, yaitu Official Assesment System, Self Assesment System, dan Withholding System. (Waluyo : 2006 ; 17)
Self Assesment System ini diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) & Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan pendapatan karena semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem self assesment menuntut wajib pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiba maupun hak perpajakannya.
Pembahasan masalah di atas menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapanya sistem self assessment tersebut pada para subjek BPHTB dalam melaksanakan kewajiban membayar BPHTB.

B.   Rumusan Masalah
  Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah  ini adalah sebagai berikut :
1.       Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ?









BAB II
PEMBAHASAN

1)            Penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB di tinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-UndangNomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak” (BPHTB Pasal 10 ayat 1 ).
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabatpejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut:
    BPHTB              = Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai besarnya Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan dalam ayat (2) memuat bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh beberapa orang tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan pajak pratama Surakarta.

a)      Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi 5 (lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan Banjarsari. Lokasi KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim Nomor 1 Surakarta 57147, telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) orang tenaga paramedis.
b.  Lapangan tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai dengan nama KPN Direktorat Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil DJP Jawa Tengah II.
d. Mushola yang teletak di belakang kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e.  Kantin yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak luar dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü  Kepala Kantor
ü  Kelompok Jabatan Fungsional
ü  Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü  Sie Ekstensifikasi
ü  Sie Waskon IV
ü  Sie PDI
ü  Sie Pemeriksaan
ü  Sie Pelayanan
ü  Sie Penagihan
ü  Sie Waskon I
ü  Sie Waskon II

ANALISIS
   Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang penerapan sistem self assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system sebagai salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan oleh perbuatan hukum jual-beli.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta, dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
 Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :
BPHTB                 = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%

( Sumber : KPP Pratama Surakarta)

   Untuk lebih jelasnya penulis akan  memberikan contoh penghitungan BPHTB kota Surakarta.
Contoh :
1.                Pada tanggal 18 Februari 2012, Bapak Nurdin membeli sebidang tanah yang terletak di Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Nurdin tsb adalah : 5% x (50.000.000- 20.000.000) = Rp. 1.500.000,-
2.                Pada tanggal 10 Juni 2012 Bapak Johar membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Surakarta dengan harga perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Johar tersebut adalah: 5% x (600.000.000 - 20.000.000) = Rp. 29.000.000,-
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No
Tahun
Anggaran/Target
Realisasi sampai dengan
Desember
Persen
1
2006
Rp.26.738.357.000

Rp. 13.656.104.000

51,07%

2
2007
Rp. 27.293.000.000

Rp. 21.802.606.000

79,88%

3
2008
Rp. 25.655.376.000

Rp. 30.366.526.176

118,36%

4
2009
Rp. 35.464.470.000

Rp. 39.568.136.752

111,57%

5
2010
Rp. 42.753.393.214

Rp. 43.688.716.095

102,19%

                                                                                                   Rata-rata                             92,62%

(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu pada tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada realisasinya. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun penerimaan yang signifikan tejadi pada tahun 2008 selisih terbesar antara anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176 (empat miliar tujuh ratus sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1.  Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2.  Nilai Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi di lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Mereka baru mengetahuinya setelah akan melakukan peralihan hak dan mendapatkan penjelasan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila harga pasar atau nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat Setoran Bea Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di Kota Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan untuk disampaikan kepada warga masyarakat di desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
  





























BAB III
PENUTUP

A.         Kesimpulan
Menurut Undang-UndangNomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB) yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).











DAFTAR PUTAKA

Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.

Analisis Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta
Oleh : Legowo Dwi Resihono
Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia , Surakarta 57149, Indonesia

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputuran Direktur Jendral Pajak di Bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.