Kamis, 18 Oktober 2012

MAKALAH TINJAUAN TENTANG IMPLEMENTASI OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011



TINJAUAN  TENTANG  IMPLEMENTASI  OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011
                                                                            
UMS.jpg

Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perburuhan 
 Dengan Dosen Pengampu Shalman Alfarizy, S.H.,M.Kn


OLEH
ANDHIKA DELLA PERMANA PUTRA
C100100144 ( B )





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012



B A B   I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah

            Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Segala aspek kehidupan diatur dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Aspek kehidupan tentang Hak Asasi Manusia khususnya berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terdapat dalam Pasal 28 D ayat 2 UUD RI 1945. Pengaturan lebih sistematis diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 telah memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yang populer di sebut outsourcing. Pengertian Outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan pihak tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja (penyedia), perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna) dan tenaga kerja/pekerja (Abdul Khakim, 2009:74).
Namun faktanya kehadiran Negara yang semula diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi sebaliknya, kehadiran Negara lebih terkesan represif bahkan eksploitatif terhadap kepentingan pekerja/buruh. Sementara peran Negara dalam hubungan industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif terhadap kepentingan pemodal. Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dapat terlihat dari problematika outsourcing (Alih Daya) yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi dengan hegemoni kapitalisme financial yang beroperasi melalui “dis-solution subject”, yang tidak memandang pekerja/buruh sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai objek yang bisa di eksploitasi ( Uti Ilmu Royen, 2009:2).
Problema outsourcing di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah justru melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja/buruh. Namun kegelisahan buruh tentang praktik outsourcing sepertinya sedikit terobati pada pertengahan bulan Januari 2012. Pada tanggal 17 bulan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagaian uji materi UU No. 13/2003 yang diajukan oleh Didik Suprijadi, pekerja dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Segala perubahan meski kecil pasti akan menimbulkan effect atau perubahan dalam penerapan peraturan.
Berdasarkan uraian singkat fakta diatas, maka dalam makalah ini penulis tertarik untuk mengupas tentang segala hal ihwal yang berhubungan dengan outsourcing      pasca   Putusan  Mahakamah  Konstitusi  dengan  judul  makalah          Tinjauan  Tentang  Implementasi  Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011’’.
                                                                            
B. Perumusan  Masalah
            Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan dibahas, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.

 Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi latar belakang tuntutan uji materi UU No.13/2003 ke Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimanakah praktek penerapan outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 ?

























B A B II
PEMBAHASAN

A. Jawaban Rumusan Masalah
Latar Belakang Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran.
Status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonsia dan karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.
Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2) "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".
Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal
dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan degradasi nilai manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusi pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan kata mutiara saja.
Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan perusahaan pengguna mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern.
Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub  contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub contractornya dengan pekerjanya.
 Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
            Berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Praktek Penerapan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011
Setelah masa persidangan yang cukup panjang, MK akhirnya memberi putusan pada 17 Januari 2012. Amar putusan MK bernomor 27/PUU-IX/2011 itu selengkapnya seperti berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
·          Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
·          Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. (Sumber ,Putusan MK  No. 27/PUU-IX/2011 )
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan ( Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana Kusumasari).
            Namun menurut Kirnadi, Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dalam artikelnya yang berjudul Masa Depan Putusan MK dan Nasib Buruh, menilai bahwa  putusan MK tidak akan membawa banyak perubahan bagi nasib buruh dan tidak akan menghilangkan praktek outsourcing. Putusan MK dilihat tidak lebih hanya akan memperjelas aturan outsourcing. Bahkan ia meneruskan: "Putusan MK justru membuka peluang cara untuk melakukan outsourcing". Menurutnya, aturan outsourcing itu dicabut sepenuhnya, tetapi ternyata MK tidak melakukan itu. MK hanya memberikan rekomendasi agar adanya perbaikan dalam praktik outsourcing. Meski demikian, ini bukan mutlak kesalahan MK sendiri. Sebuah putusan hukum MK pada dasarnya hanya merupakan respon terhadap uji materi yang diajukan oleh pemohon. Pasal yang dituntut dan alasan penuntutan oleh karenanya sangat tergantung pada pemohon. Dari sisi hukum sendiri, putusan MK mungkin menganulir beberapa ketentuan mengenai outsourcing tetapi dengan "hanya"ditindaklanjuti oleh Kemenakertrans dengan menerbitkan surat edaran yang tidak bersifat mengikat dan lemah secara yuridis, bisa saja putusan MK tetap memelihara atau mengakui keberadaan praktik outsourcing yang terjadi selama ini.





B A B  III
P E N U T U P

A.Kesimpulan
            Latar Belakang Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi adalah bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
            Berdasarkan fakta-fakta alasan terssebut jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya tentang praktek penerapan outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 yaitu Mahkamah menawarkan dua model outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan .

B. Saran
Outsourcing merupakan hak pengusaha, namun pelaksanaan hak itu  ada persyaratan tertentu  dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Artinya dalam melakukan outsourcing disamping harus memenuhi  syarat materiil dan formil, secara substansial tidak boleh mengurangi hak – hak normatif pekerja/ buruh. Hak – hak tersebut antara lain:
1. hak atas upah yang layak;
2. hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti;
3. hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;
4. hak atas PHK
5. hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.
            Selain solusi diatas, jika kita meyakini putusan MK tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan nasib buruh, sementara negara terkesan abai terhadap persoalan buruh, apa yang dapat dilakukan? Sepertinya buruh tidak dapat berpaling ke pihak lain, kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka perlu meningkatkan posisi tawar ketika berhadap-hadapan baik dengan pengusaha maupun penguasa. Untuk melaksanakan itu, tidak bisa dihindari buruh memerlukan organisasi diri yang kuat. Tanpa organisasi buruh yang kuat, buruh tidak akan bisa menekan pemilik modal dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Tantangannya kini ada dipihak buruh, apakah mereka mampu bertahan dari berbagai tekanan yang biasanya diberikan oleh perusahaan pada pekerja. Ada banyak contoh yang menunjukkan kuatnya tekanan perusahan terhadap organisasi buruh. Salah satu yang mencuat adalah kasus organisasi buruh di Carefour Indonesia. Serikat Pekerja Carefour Indonesia (KASBI) diberangus, anggota dan pengurusnya dikenai sanksi skorsing sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
            Jalur lain yang mungkin dapat ditempuh oleh kaum buruh adalah melalui sebuah partai politik. Seperti yang telah kita ketahui  peraturan atau produk hukum merupakan hasil transaksi politik. Asumsinya jika buruh bisa memiliki partai politik yang memiliki basis massa yang besar dan terorganisir dengan baik tentu akan ada yang secara aktif melindungi dan memperjuangkan kepentingan buruh secara langsung dalam proses transaksi politik. Partai Buruh bisa menjadi harapan bagi akses untuk memperjuangkan aspirasi buruh.






















DAFTAR PUSTAKA

Abdul hakim.2009. Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Bandung:PT . Citra Aditya Bakti
Uti Ilmu Royen. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang). Tesis Fakultas Hukum UNDIP

Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana Kusumasari).

Putusan MK  No. 27/PUU-IX/2011

1 komentar: