TINJAUAN
TENTANG IMPLEMENTASI OUTSOURCING
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011
Makalah
Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perburuhan
Dengan Dosen Pengampu Shalman Alfarizy,
S.H.,M.Kn
OLEH
ANDHIKA
DELLA PERMANA PUTRA
C100100144
( B )
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2012
B
A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia
adalah negara berdasarkan hukum. Segala aspek kehidupan diatur dalam Undang –
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Aspek kehidupan tentang Hak Asasi
Manusia khususnya berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terdapat dalam Pasal 28 D ayat 2
UUD RI 1945. Pengaturan lebih sistematis diatur dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 telah memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh, yang populer di sebut outsourcing. Pengertian Outsourcing adalah
hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan
dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan
pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem
outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian
pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan
pihak tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja
(penyedia), perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna) dan tenaga
kerja/pekerja (Abdul Khakim, 2009:74).
Namun faktanya kehadiran
Negara yang semula diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan atas
hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi sebaliknya, kehadiran Negara
lebih terkesan represif bahkan eksploitatif terhadap kepentingan pekerja/buruh.
Sementara peran Negara dalam hubungan industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif
terhadap kepentingan pemodal. Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi
pekerja/buruh dapat terlihat dari problematika outsourcing (Alih Daya)
yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika outsourcing
(Alih Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang
semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu
memadai untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah
kehidupan ekonomi dengan hegemoni kapitalisme financial yang beroperasi melalui “dis-solution subject”,
yang tidak memandang pekerja/buruh sebagai subjek produksi yang patut
dilindungi, melainkan sebagai objek yang bisa di eksploitasi ( Uti Ilmu Royen, 2009:2).
Problema outsourcing
di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai
kontroversi itu. Ditengah kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya
kapitalisme, pemerintah justru melegalkan praktik outsourcing yang
secara ekonomi dan moral merugikan pekerja/buruh. Namun kegelisahan buruh
tentang praktik outsourcing sepertinya sedikit terobati pada pertengahan
bulan Januari 2012. Pada tanggal 17 bulan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
sebagaian uji materi UU No. 13/2003 yang diajukan oleh Didik Suprijadi, pekerja
dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Segala perubahan
meski kecil pasti akan menimbulkan effect
atau perubahan dalam penerapan peraturan.
Berdasarkan uraian
singkat fakta diatas, maka dalam makalah ini penulis tertarik untuk mengupas
tentang segala hal ihwal yang berhubungan dengan outsourcing pasca Putusan Mahakamah
Konstitusi dengan judul
makalah “ Tinjauan Tentang Implementasi
Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/Puu-Ix/2011’’.
B. Perumusan Masalah
Perumusan
masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara
jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan
masalah yang akan dibahas, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah
yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Apakah yang menjadi latar belakang tuntutan uji materi UU No.13/2003 ke Mahkamah
Konstitusi ?
2.
Bagaimanakah praktek penerapan outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 ?
B
A B II
PEMBAHASAN
A. Jawaban Rumusan Masalah
Latar
Belakang Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing)
yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak
dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan
hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu mengenai hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak
atas kesejahteraan dan kemakmuran.
Status sebagai
buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak-hak,
tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya
dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang
dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan
buruh/pekerja Indonsia dan karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar
dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.
Dalam hubungan kerja
berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal
64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai
komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja. Buruh/pekerja
dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang
akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya
dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi
budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara
berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan".
Dan Pasal 28D ayat (2) "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".
Dalam hubungan kerja
berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai
faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan
diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen
upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan
seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja
"pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan menjadikan
buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal
dan ini adalah bertentangan dengan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya
ditegaskan lagi bahwa ini artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi
ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan degradasi nilai
manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara
resmi dan diresmikan melalui sebuah Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang
diamanatkan konstitusi pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan
kata mutiara saja.
Sistem outsourcing,
konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan jasa pekerja merekrut calon
pekerja untuk ditempatkan diperusahaan pengguna. Jadi disini diawali suatu
hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja
dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja
mengikatkan dirinya untuk menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan
perusahaan pengguna mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut.
Berdasarkan perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa
pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang misalnya
Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian
persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna.
Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja
tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan
perbudakan modern.
Di lain pihak outsourcing
juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya
kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak
akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi.
Sehingga kontinitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak
terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Outsourcing di
dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing, yaitu outsourcing
mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai
pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang
pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang
mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor untuk
melakukan pekerjaan yang di subkan oleh main contractor yang membutuhkan
pekerja. Disitulah sub contractor merekrut
pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga
ada hubungan kerja antara sub contractornya dengan pekerjanya.
Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas
hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan
kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja
hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
Bahwa perbudakan terhadap outsourcing
mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya
menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan
keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang
harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk
memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai
bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya
sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia
menjadi lemah.
Berdasarkan
fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan
melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Praktek Penerapan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/Puu-Ix/2011
Setelah masa persidangan yang cukup panjang, MK
akhirnya memberi putusan pada 17 Januari 2012. Amar putusan MK bernomor
27/PUU-IX/2011 itu selengkapnya seperti berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
·
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
·
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
·
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan
hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
·
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya. (Sumber ,Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 )
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan
outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan
dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam
perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu
tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan
bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara
pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis.
Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan
perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap
mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan ( Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana
Kusumasari).
Namun
menurut Kirnadi,
Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dalam artikelnya yang berjudul Masa Depan Putusan MK dan Nasib Buruh,
menilai bahwa putusan MK tidak akan membawa banyak perubahan bagi
nasib buruh dan tidak akan
menghilangkan praktek outsourcing. Putusan MK dilihat tidak lebih hanya
akan memperjelas aturan outsourcing. Bahkan ia meneruskan: "Putusan MK
justru membuka peluang cara untuk melakukan outsourcing". Menurutnya,
aturan outsourcing itu dicabut sepenuhnya, tetapi ternyata MK tidak melakukan
itu. MK hanya memberikan rekomendasi agar adanya perbaikan dalam praktik
outsourcing. Meski demikian, ini bukan mutlak kesalahan MK sendiri. Sebuah
putusan hukum MK pada dasarnya hanya merupakan respon terhadap uji materi yang
diajukan oleh pemohon. Pasal yang dituntut dan alasan penuntutan oleh karenanya
sangat tergantung pada pemohon. Dari sisi hukum sendiri, putusan MK mungkin
menganulir beberapa ketentuan mengenai outsourcing tetapi dengan
"hanya"ditindaklanjuti oleh Kemenakertrans dengan menerbitkan surat
edaran yang tidak bersifat mengikat dan lemah secara yuridis, bisa saja putusan
MK tetap memelihara atau mengakui keberadaan praktik outsourcing yang terjadi selama ini.
B A B III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
Latar Belakang
Tuntutan Uji Materi UU No.13/2003 Ke Mahkamah Konstitusi adalah bahwa
perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia
jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah
uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. Bahwa Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945,
karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja
seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu
pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat,
maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan
sebagai manusia menjadi lemah.
Berdasarkan
fakta-fakta alasan terssebut jelas bahwa patut kiranya Mahkamah berkenan
melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya
tentang praktek penerapan outsourcing
pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 yaitu Mahkamah menawarkan dua model outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk
perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui
model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang
dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam
hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan
PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan
prinsip pengalihan tindakan perlindungan .
B.
Saran
Outsourcing
merupakan hak pengusaha, namun pelaksanaan hak itu ada persyaratan tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku. Artinya dalam melakukan outsourcing
disamping harus memenuhi syarat materiil
dan formil, secara substansial tidak boleh mengurangi hak – hak normatif
pekerja/ buruh. Hak – hak tersebut antara lain:
1.
hak atas upah yang layak;
2. hak perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti;
3.
hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;
4.
hak atas PHK
5.
hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.
Selain solusi diatas, jika kita
meyakini putusan MK tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan nasib buruh,
sementara negara terkesan abai terhadap persoalan buruh, apa yang dapat
dilakukan? Sepertinya buruh tidak dapat berpaling ke pihak lain, kecuali kepada
dirinya sendiri. Mereka perlu
meningkatkan posisi tawar ketika berhadap-hadapan baik dengan pengusaha maupun
penguasa. Untuk melaksanakan itu, tidak bisa dihindari buruh memerlukan
organisasi diri yang kuat. Tanpa organisasi buruh yang kuat, buruh tidak akan
bisa menekan pemilik modal dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Tantangannya kini ada dipihak buruh, apakah mereka mampu bertahan dari berbagai
tekanan yang biasanya diberikan oleh perusahaan pada pekerja. Ada banyak contoh
yang menunjukkan kuatnya tekanan perusahan terhadap organisasi buruh. Salah
satu yang mencuat adalah kasus organisasi buruh di Carefour Indonesia. Serikat
Pekerja Carefour Indonesia (KASBI) diberangus, anggota dan pengurusnya dikenai
sanksi skorsing sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Jalur lain yang mungkin dapat
ditempuh oleh kaum buruh adalah melalui sebuah partai politik. Seperti yang
telah kita ketahui peraturan atau produk
hukum merupakan hasil transaksi politik. Asumsinya jika buruh bisa memiliki
partai politik yang memiliki basis massa yang besar dan terorganisir dengan
baik tentu akan ada yang secara aktif melindungi dan memperjuangkan kepentingan
buruh secara langsung dalam proses transaksi politik. Partai Buruh bisa menjadi
harapan bagi akses untuk memperjuangkan aspirasi buruh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul hakim.2009. Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia.Bandung:PT . Citra Aditya Bakti
Uti Ilmu Royen.
2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang). Tesis Fakultas Hukum UNDIP
Artikel Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Outsourcing Pasca-Putusan MK, Diana Kusumasari).
Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011