RESUME
SEJARAH
PERKEMBANGAN
HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL
Di Susun Untuk
Melengkapi Tugas Tengah Semester Mata
Kuliah
Hukum Perdata Internasional
Dengan Dosen Pengampu Aslamiyah , S.H.,M.Hum
Oleh :
Andhika Della
Permana Putra
C100100144 ( A )
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2011
PENDAHULUAN
Hukum
Perdata Internasional (HPI) dapat dianggap sebagai bidang hukum yang dinamis
dan selalu berkembang menyesuaikan diri pada perkembangan – perkembangan
kebutuhan didalam masyarakat modern. Namun, HPI tidak dapat dianggap sebagai
bidang hukum baru yang baru tumbuh di abad ke-20 karena asas-asas dan pola
berpikir HPI sudah dapat dijumpai dan tumbuh di dalam pergaulan masyarakat di
masa Kekaisaran Romawi (abad ke-2 sampai dengan abad ke-6 SM) seiring dengan
pertumbuhan kebudayaan barat (Western civilization) di Eropa daratan.
Maka
secara umum ada beberapa penggolongan model pendekatan HPI (PIL
approach models) yang membedakan kelompok-kelompok pendekatan HPI dengan
ukuran-ukuran yang berbeda, tetapi pada titik-titik tertentu dapat menjadi
tumbuh satu sama lain.
1. Pendekatan
Berdasarkan Tujuan HPI
Ada
dua jenis model pendekatan HPI ditinjau dari anggapan dasar tentang tujuan
HPI yang berbeda, yaitu yang melihat :
a. HPI
yang bertujuan mewujudkan keadilan dalam perselisihan hukum(conflict
justice).
b. HPI
yang bertujuan meujudkan keadilan substansial dalam setiap perkara(substantive
justice).
ü Kelompok
yang pertama menhimpun teori-teori dan
doktrin-doktrin HPI yang lebih mementingkan keseragaman pola penyelesaian
perkara-perkara HPI dalam bidang-bidang hukum tertentu, di manapun dan
berdasarkan hukum apapun perkara diselesaikan (decisional harmony).
ü Kelompok
yang kedua berhimpun teori-teori HPI yang lebih
mengutamakan pengupayaan keadilan subtansial dalam setiap perkara yang
dihadapi, dengan memerhatikan kondisi dan situasi khusus yang melingkupi
perkara.
1.
Pendekatan Berdasarkan Hasil yang
Dicapai dari Proses HPI
Bedasarkan
ukuran ini orang membedakan antara :
a. Pendekatan
HPI yang berfungsi menetapkan system hukum yang seharusnya berlaku atas semua
persoalan hukum yang dapat timbul dari sebuah perkara HPI
b. Pendekatan
HPI yang berfungsi memilih dan menetapkan aturan hukum local yang harus
diberlakukan atas masalah masalah hukum tertentu yang terbit dari sebuah
perkara HPI tertentu.
2.
Pendekatan Berdasarkan Metodologi
Penetapan Hukum yang Harus Diberlakukan
a.
Pendekatan lex fori
Yang beranggapan bahwa pengadilan
yang mengadili perkaralah yang akan memberlakukan hukumnya sendiri untuk
memutus perkara yang dihadapinya.
b.
Pendekatan multilateralism
yang bertitik tolak dari prinsip
bahwa pengadilan harus bersikap netral dan menetapkan terlebih dahulu tempat
kedudukan dari hubungan hukum yang menjadi perkara dengan bantuan titik-titik
taut.
c. Pendekatan
unilateralism
Yang
beranggapan bahwa forum harus menentukan aturan hukum di antara aturan-aturan
hukum yang relevan (baik dari lex
fori maupun hukum asing) yang
akan di berlakukan untuk menyelesaikan hukum tertentu yang timbul dalam suatu
hubungan hukum.
d. Pendekatan
Hukum Substantif
Yang
cenderung menyelesaikan persoalan-persoalan HPI dengan menggunakan asas-asas
atau aturan- aturan hukum subtansif(hukum materiil) yang diterima dan diakui
secara internasional.
e. Pendekatan
elektrik (eclecticism)
Yang
menurut Prof. Juenger menggambarkan
kecenderungan untuk mengakomodasi semua pendekatan yang berbeda-beda itu dan
mengkombinasikannya dalam penetapan hukum atau aturan hukum yang seharusnya
berlaku dalam penyelesaian suatu perkara. Secara kasuistik, elemen-elemen yang
diunggulkan oleh masing-masing pendekatan terdahulu itu dapat digunakan untuk
menetapkan hukum/aturan hukum yang diberlakukan, bergantung dari
pertimbangan-pertimbangan yang khas yang terbit dari kondisi dan situasi setiap
perkara.
Terlepas dari
perbedaan model-model pendekatan tersebut di atas, khususnya di Eropa daratan
sampai dengan abad ke-19 yang dianggap sebagai masa di mana pendekatan
tradisional HPI (the traditional approach) mencapaipuncak pertumbuhannya
dan mewarnai pola penyelesaian perkara-perkara HPI di Eropa daratan dan juga di
inggris sampai dengan saat ini.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
A.
MASA KEKAISARAN ROMAWI (ABAD KE-2 – 6 SESUDAH
MASEHI)
Pada masa ini pola hubungan internasional dalam
wujudnya yang sederhana sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan
antara :
1.
Warga (cives) Romawi dengan penduduk prvinsi-provinsi atau minicipia
(untuk wilayah di italia, kecuali Roma) yang menjadi bagian dari wilayah
kekaisaran karena pendudukan.
2.
Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah
kekaisaran Romawi sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek
hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.
Untuk menyelesaikan sengketa dalam
hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan khusus yang disebut Praetor
Peregrinis. Yang diberlakukan oleh hakim Praetor Peregrinis adalah
hukum yang dibuat untuk para cives Romawi, yaitu Ius Civile,
tetapi yang telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan “antar bangsa”, yang
kemudian berkembang menjadi Ius Gentium.
Ius Gentium terdiri dari :
a.
Ius Privatuum, mengatur persoalan-persoalan hukum
orang-perorangan.
Ius
Privatuum inilah yang menjadi
cikal bakal HPI yang berkembang dalam
tradisi Eropa Kontinental.
b.
Ius Publicum, mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara
sebagai kekuasaan publik. Ius Publicum berkembang menjadi sekumpulan
asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara Kekaisaran Romawi dengan
negara-negara lain (cikal bakal Hukum Internasional Publik).
Prinsip HPI pada masa ini dilandasi asas teritorial, artinya
perkara-perkara yang menyangkut warga-warga propinsi tunduk pada Ius Gentium
sebagai bagian dari hukum kekaisaran.
Beberapa asas HPI yang tumbuh dan berkembang pada masa ini dan menjadi
asas penting dalam HPI modern adalah :
1.
Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)
Yang berarti perkara-perkara yang menyangkut
benda-benda tidak bergerak tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu
terletak.
2.
Asas Lex Domicilii
Yang mentapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan
harus di atur oleh hukum dari tempat seseorang berkediam tetap
3.
Asas Lex Loci Contractus
Yang mentapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian
berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
B.
MASA
PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (Abad ke-6 s/d Abad ke-10)
Pada akhir abad ke-6
Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa barbar dari wilayah-wilayah
bekas propinsi-propinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajaran Romawi diduduki
oleh pelbagai suku bangsa yang dibedakan secara genealogis dan bukan
territorial. Masing-masing suku bangsa memberlakukan kaidah-kaidah hukum adat,
hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama mereka. Dalam menyelesaikan sengketa antar suku bangsa,
ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem hukum adat mana yang relevan dengan
perkara, kemudian baru dipilih hukum mana yang harus diberlakukan.
Tumbuh beberapa prinsip
HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis :
a.
Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian hukum,
maka hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat;
b.
Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus
dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak;
c.
Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari
pihak pewaris;
d.
Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari
pihak transferor;
e.
Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan
berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan
yang melanggar hukum;
f.
Pengesahan suatu perkawinan
harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.
C.
PERTUMBUHAN
ASAS TERITORIAL(Abad ke-11 s/d Abad ke -12)
Pertumbuhan asas personal genealogis semakin sulit untuk
dipertahankan mengingat terjadinya transformasi struktur masyarakat yang
semakin condong ke arah masyarakat yang teritorialistik di seluruh wilayah
Eropa.
Ada 2 Kawasan Eropa yang sangat mencolok proses transformasinya :
a. Pertumbuhan di Eropa Utara
Di kawasan ini (Jerman,
Prancis, Inggris) masyarakat bertransformasi menjadi masyarakat teritorialistik
melaui tumbuhnya kelompok-kelompok feodalistik. Unit-unit masyarakat
yang berada di bawah kekuasaan feodal (tuan-tuan tanah) cenderung memberlakukan
hukum mereka secara eksklusif. Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing dan
tidak ada perkembangan HPI yang berarti.
b. Pertumbuhan di Eropa Selatan
Transformasi berlangsung
ke arah masyarakat teritorialistik disebabkan oleh pertumbuhan kota-kota
perdagangan di Italia. Dasar ikatan manusia dikarenakan tempat kediaman di kota
yang sama.
Kota-kota yang dimaksud
di sini adalah :
ü
Kota-kota perdagangan, seperti Milan, Florence, Venetia, Bologna,
Padua, Genoa, dan sebagainya yang merupakan pusat-pusat perdagangan;
ü
Dapat dianggap sebagai kota-kota yang otonom, dengan batas-batas
wilayah yang tertentu, dan
ü
Dengan system hukum lokalnya sendiri yang berbeda dari kota ke kota,
dam juga berbeda dari hukum Romawi yangberlaku secara umum di seluruh Italia.
Asas-asas hukum yang digunakan untuk menjawab
perkara-perkara hukum perselisihan antara kota inilah yang dianggap sebagai
pemicu tumbuhnya teori HPI yang penting, yang dikenal dengan sebutan teori
Statuta.
D.
PERTUMBUHAN
TEORI STATUTA
1. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke-13
s/d abad ke-15)
Semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar kota di Italia
menyebabkan asas teritorial perlu ditinjau kembali.
Misal :
Seorang warga Bologna yang berada di Florence, dan mengadakan
perjanjian di Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial, selama ia berada
di kota Florence ia harus tunduk pada kewenangan hukum di kota Florence.
Pemasalahannya
:
ü
Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di
Bologna ?
ü
Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna
?
Catatan :
Tindakan menyempurnakan Corpus Iuris sebagai kodifikasi yang
berlaku di seluruh Italia untuk digunakan dalam mengembangkan statuta-statuta
intern kota-kota diwujudkan melalui perumusan tafsiran-tafsiran baru dan
pembuatan catatan-catatan tentang interprestasi terhadap Corpus Iuris
yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kota. Dilakukan oleh Kelompok Glossators,
yang lebih banyak difokuskan pada penyempurnaan kaidah-kaidah hukum intern
kota, tidak banyak memberikan sumbangsih pada perkembangan HPI.
Di abad ke-14 s/d abad ke-15 penafsiran dan penyempurnaan terhadap
kaidah2 hukum di dalam Corpus Iuris dilakuakn khusus untuk membangun asas-asas
hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum perselisihan
(antarkota).
Dilakukan oleh kelompok Post Glossators, dengan memusatkan perhatian
pada upaya mencari dasar hukum baru untuk menyelesaikan persoalan2 hukum yang
melibatkan kewenangan hukum dari 2 atau lebih kota. Terhadap perkembangan HPI
dan pemikiran kelompok inilah muncul teori statuta.
A. Dasar2 Teori Statuta
Tumbuhnya teori statuta diawali oleh seorang tokoh Post Glassator :
Accursius yang mengatakan:
“Bila seseorang yang berasa dari kota tertentu di Italia, digugat di
sebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain
itu, karena ia bukan subjek hukum dari kota lain itu”.
Gagasan Accursius menarik
perhatian Bartolus de Sassoferato (Bapak HPI). Bartolus mencetuskan Teori
Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama yang mendekati persoalan-persoalan
hukum perselisihan secara metodik dan sistematik.
Upaya yang dilakukan oleh
Bartolus :
a. Mengembangkan asas2 yang dapat digunakan
secara praktis untuk mementukan wilayah
berlaku dari setiap aturan hukum yang berlaku di sebuah kota di Italia.
b. Mengklasifikasi tentang jenis-jenis hubungan
atau persoalan hukum apa saja yang
mungkin dimasukkan ke dalam lingkup berlaku
statuta2 sebuah kota.
c. Menyimpulkan apakah statuta
dari sebuah kota di Italia :
ü
Dapat diberlakukan juga bagi orang2 yang bukan warga kota yang bersangkutan ?
ü
Dapat memiliki daya berlaku juga di wilayah kota yang bersangkutan (ekstra-teritorialitas)?
Kesimpulan
Teori Statuta :
1. Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok :
a. Statuta
Personalia
Statuta-statuta yang
berkenaan dengan kedudukan hukum atau
status personal orang.
b. Statuta
Realia
Statuta-statuta yang
berkenaan dengan status benda.
c.
Statuta Mixta
Statuta-statuta yang
berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum.
2. Setiap jenis statuta dapat
ditentukan ruang lingkup atau wilayah berlakunya secara tepat, yaitu :
a. Statuta Personalia
ü
Objek pengaturan : orang dalam
persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga.
ü
Lingkup berlaku : ekstra-teritorial,
berlaku juga di luar wilayah.
Statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang berkediaman
tetap di wilayah kota yang bersangkutan, namun statuta ini akan tetap melekat
dan berlaku atas mereka, diamana pun mereka berada.
b. Statuta Realia
ü
Objek pengaturan : benda dan status hukum dari benda.
ü
Lingkup berlaku : prinsip
territorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota kekuasaan penguasa.
Statuta ini akan tetap
berlaku terhadap siapa saja (warga kota
ataupuan pendatang / orang asing) yang berada dalam teritorial yang
bersangkutan.
c. Statuta Mixta
ü
Ojek pengaturan : perbuatan-perbuatan
hukum oleh subjek hukum atau perbuatan-perbuatan hukum terhadap benda-benda.
ü
Lingkup berlaku : prinsip
teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi atau dilangsungkan
dalam wilayah pengusaan kota.
Statuta ini berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang /
orang asing) yang berada di wilayah kota yang bersangkutan.
B. Penggunaan Teori Statuta dalam HPI modern
Pembedaan ke dalam statuta Personalia, Realia, dan Mixta tidak lagi
dilihat sebagai hukum yang mengatur suatu kota akan tetapi sebagai kategori
untuk mengkualifikasikan pokok perkara yang sedang dihadapi dan kemudian
digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan lex cause.
Dalam menentukan Lex Cause, maka bila perkara dikualifikasikan
sebagai perkara tentang:
v
Status
benda,
maka lex causenya adalah hukum dari tempat dimana benda terletak /
berada (lex situs).
Dalam perkembangan HPI, asas di atas hanya cocok untuk benda tidak
bergerak (immovables). Sedang untuk benda-benda bergerak digunakan asas
lain, yaitu Mobilia Sequntuur Personam, yaitu mengenai benda-benda
bergerak maka hukum yang mengatur adalah hukum dari tempat pemilik benda
bergerak tersebut.
v
Status
orang / badan hukum, maka lex cause yang harus digunakan adalah hukum dari tempat
dimana orang atau subjek hukum itu berkediaman tetap (lex domicili)
(atau berkewarganegaraan / Lex
patriae).
v
Status
perbuatan-perbuatan hukum, maka lex cause-nya adalah hukum dari
tempat dimana perbuatan itu dijalankan (lex loci actus
Contoh :
ü
A berasal dari kota Milan, berdasarkan statuta Milan melakukan
transaksi jual beli dengan B dari Venesia. Objek jual beli adalah sebidang
tanah di kota Roma. Bila timbul perkara tentang status pemilikan tanah di Roma
tersebut, bagaimana penyelesaiakn menurut teori statuta?
Ø Perkara akan
dikualifikasi sebagai perkara realia, perkara ini harus diselesaikan
berdasarkan hukum tanah Roma.
ü C adalah
warga yang berkediaman tetap di kota Genoa. Di kota ini, C dianggap sebagai
orang yang sudah mampu melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Namun dimikian
di kota Florence, karena kaidah-kaidah hukum yang berbeda, C dianggap belum
mampu melakukan perbuatan hukum sendiri. Seandainya pekara ini dipersoalkan di
Pengadilan Florence, maka bagaimana penyelesaian berdasarkan teori statuta ?
Ø Perkara akan
dikualifikasi sebagai perkara Personalia, dan status personal C akan ditentukan
berdasarkan hukum Genoa sebagai Lex Cause.
ü D adalah
warga kota Turin. Ketika ia berada di kota Pisa, ia telah melakukan perbuatan
yang merugikan E, seorang warga Pisa, dan E kemudian menuntut ganti kerugian
dari D di pengadilan Pisa. Apabila perkara diajukan di Pengadilan Pisa, maka
bagaimana penyelesaiannya berdasarkan teori statuta ?
Ø Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara mixta,
dan pengadilan Pisa akan menetapkan apakah D telah melakukan perbuatan melawan
hukum dan E berhak atas ganti kerugian berdasarkan hukum Pisa sebagai hukum
dari tempat dimana perbuatan dilaksanakan.
Kelemahan :
Upaya untuk menetapkan
dengan tegas perkara-perkara apa yang harus diklasifikasikan ke dalam
kaidah-kaidah realia, personalia atau mixta ternyata tidak selalu mudah
dilaksanakan.
Misal :
Kemampuan hukum seseorang
untuk mengalihkan hak milik atas tanah. Apakah Personalia atau Realia?
Perbuatan hukum yang
sasarannya adalah benda tetap.
Apakah Realia atau Mixta ?
Bartolus menjawab kritik
semacam ini dengan menggunakan Penafsiran Gramatikal :
Suatu statuta adalah realia, bila rumusan statuta
itu diawali dengan istilah benda terlebih dahulu, demikian pula suatu statuta
adalah personalia, bila perumusannya diawali dengan penyebutan tentang orang
dan subjek hukumnya terlebih dahulu.
2. Perkembangan Teori Statuta Di Perancis ( Abad ke-16
)
a.
Situasi Ketatanegaraan di Perancis Abad ke-16
Situasi pada saat itu
mendorong orang untuk mempelajari hukum perselisihan secara intensif.
Provinsi-provinsi di Perancis, dari segi ketatanegaraan merupakan bagian dari
Negara perancis, ternyata secara de facto merupakan wilayah-wilayah yang
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang mengingatkan orang pada
perkembangan kota-kota di Italia beberapa abad sebelumnya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa :
ü Masing-masing provinsi memiliki system hukum
lokalnya sendiri ( coutume ). Jadi, yang dimaksud dengan statute di sini adalah
hukum lokal dari provinsi-provinsi.
ü Meningkatnya aktivitas perdagangan antar provinsi
di Perancis mengakibatkan bertemunya kaidah-kaidah hukum berbagai provinsi
dalam konflik-konflik hukum antar provinsi.
b.
Cara Penyelesaian
Para ahli hukum Perancis
berusaha mendalami dan memodifikasi teori ststuta Italia dan menerapkannya
dalam konflik antarprovinsi di Perancis. Beberapa tokoh yang dikenal sebagai
tokoh teori statuta Perancis adalah :
v Dumoulin ( 1500-1566 )
v D’Argentre ( 1523-1603 )
Pendapat Dumoulin
Pandangan Dumoulin
ini tumbuh pada masa Renaissance di Eropa, di mana kebebasan individual
menjadi inti dari kehidupan manusia di segala bidang. Kebebasan individu ini
juga merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran tentang hukum, khususnya di bidang
hukum perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract, contractsvrijheid)
yang merupakan salah satu tiang utama dalam hukum perjanjian modern juga mulai
diintrodusir pada masa ini. Menurut Dumoulin, dalam konteks penetapan hukum
yang harus berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu ini juga
dicerminkan dalam kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang
berlaku atas kontrak mereka.
Menurut Dumoulin
:
1.
Pihak-pihak ( subjek
hukum )dalam perjanjian pada dasarnya memiliki kebebasan berkontrak.
2. Kebebasan berkontrak antara lain, diwujudkan juga
dalam kebebasan untuk memilih hukum apa yang hendak mereka berlakukan dalam
kontrak mereka.
3. Kebebasan orang untuk memilih hukum yang berlaku
atas perjanjian sebenarnya mirip dengan persoalan status personal seseorang.
4. Sebagai persoalan status personal, maka kebebasan
ini akan melekat terus pada diri orang-orang yang akan menjadi pihak-pihak
dalam perjanjian dimana pun mereka berada dan membuat perjanjian.
5. Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam
lingkup statute personalia dan memiliki sifat ekstrateritorial.
6.
Jadi Dumoulin sebenarnya
memperluas ruang lingkup statuta
personalia Bartolus dan memasukkan perjanjian ke dalamnya.
Pendapat D’Argentre
1.
D’Argentre mengakui bahwa
ada beberapa statuta yang benar-benar mengatur tentang kecakapan seseorang
secara yuridis dan masuk ke dalam statuta personalia, tetapi;
2. Banyak statute yang mengatur kedudukan orang
(personalia), tetapi dalam kaitannya dengan hak milik orang itu atas suatu
benda (realia), atau;
3. Banyak statute yang mengatur perbuatan-perbuatan
hukum (realia atau mixta), tetapi yang dilakukan di wilayah provinsi tertentu;
4. Statuta-statuta semacam itu (2) dan (3) harus di
kategorikan sebagai statuta realia karena isinya berkaitan erat dengan wilayah
provinsi dari penguasa yang memberlakukan statute itu;
5. Dalam kaitan itu yang harus diutamakan adalah
otonomi dari provinsi-provinsi (di Perancis) dan bukan otonomi subjek hukum
(seperti kata Dumoulin) sehingga;
6. Yang dikehendaki oleh D’Argentre sebenarnya adalah memperluas ruang
lingkup statute realia dan memasukkan perjanjian-perjanjian dan
perbuatan-perbuatan hukum lain ke dalam lingkup statute realia.
3. Perkembangan Teori Statuta di Belanda ( Abad Ke-17
s/d Abad 18 )
Prinsip dasaryang
dijadikan titik tolak dalam teori statute Belanda adalah kedaulatan eksekutif
Negara. Jadi, statute yang dimaksud adalah hukum suatu Negara yang berlaku di
dalam territorial suatu Negara.
Tokoh-tokoh teori statute
Belanda adalah :
a)
Ulrik Huber ( 1636 – 1694 )
Pandangan Ulrik Huber
Untuk menyelesaikan
perkara HPI, Ulrik Huber berpandangan bahwa orang harus bertitik tolak dari
tiga prinsip dasar, yaitu bahwa :
Ø Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas
teritorial Negara itu.
Ø Semua orang/subjek hukum yang secara tetap atau sementara
berada di dalam teritorial wilayah suatu Negara berdaulat :
ü Merupakan subjek hukum dari Negara tersebut, dan
ü Tunduk serta terikat pada hukum Negara tersebut.
Ø Namun, berdasarkan prinsip sopan santun antar
Negara (comitas gentium), hukum yang berlaku di Negara asalnya
tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan subjek hukum dari Negara pemberi pengakuan.
Selanjutnya, untuk
menyelesaikan perkara-perkara HPI, maka ketiga prinsip di atas harus ditafsirkan
dengan memerhatikan dua prinsip lain, yaitu bahwa suatu perbuatan hukum yang
dilakukan di suatu tempat tertentu dan :
Ø Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut
hukum setempat, harus diakui/dianggap sah juga di Negara lain, (termasuk di
Negara forum) meskipun hukum negar a lain itu menganggap perbuatan semacam itu
batal atau
Ø Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut
hukum setempat, akan dianggap batal dimana pun, termasuk didalam wilayah Negara
forum.
Jadi, dalam HPI menurut Huber
:
ü Setiap Negara memiliki kedaulatan sehingga Negara
memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya, tetapi
ü Dalam kenyataan, Negara-negara itu tidak dapat
bertindak secara bebas, dalam arti bahwa berdasarkan asas comitas gentium
Negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang telah diperoleh secara sah
di Negara lain.
Pandangan
Johannes Voet
Johannes Voet menegaskan
kembali ajaran comitas gentium, dengan menjelaskan sebagai berikut :
Ø Pemberlakuan hukum asing di suatu Negara bukan
merupakan kewajiban hukum internasional (public) atau karena sifat hubungan
HPI-nya.
Ø Suatu Negara asing tidak dapat menuntut
pengakuan/pemberlakuan kaidah hukumnya di wilayah hukum suatu Negara lain.
Ø Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum
asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antarnegara (comitas
gentium).
Ø Namun demikian, asas comitas gentium ini harus
ditaati oleh setiap Negara dan asas ini harus dianggap sebagai bagian dari
system hukm nasional Negara itu.
Salah satu asa HPI yang
menjadi penting artinya bagi penganut teori statute Belanda (teori comitas
gentium) adalah asas locus regit actum, menyatakan bahwa “tempat dimana
perbuatan dilakukan akan menentukan bentuk hukum dari perbuatan itu”.
E.
TEORI
HPI UNIVERSAL (ABAD KE-19 )
Tokoh pencetus teori ini adalah Friedrich Carl
v. Savigny di Jerman. Pemikiran Savigny juga berkembang setelah di dahului
oleh pemikiran ahli hukum jerman lain, yaitu C.G. von Wachter.
v Pandangan
C.G. Von Wachter
Wachter mengktritik teori
statute (italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menolak
adanya sifat ekstrateritorial dan suatu aturan (seperti statute personalia)
karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di
Negara asing. Wachter berasumsi bahwa, Hukum intern forum hanya dibuat untuk
dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum local saja. Karena itu dalam
perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah HPI atau
yang menentukan hukum apa yang harus berlaku.
Elemen penting dari
pemikiran Wachter adalah bahwa ia berusaha meninggalkan klasifikasi ala teori
statute dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang seharusnya
berlaku terhadap hubungan hukum tertentu.
v Pandangan
F.C. Von Savigny
Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat”
itu dengan berasumsi bahwa “ untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat di
tentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya”, dengan melihat pada hakikat
dari hubungan hukum tersebut. Jika orang hendak menentukan aturan hukum apa
yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan
hukum, hakim berkewajiban menentukan tempat kedudukan hukum/legal seat dari
hubungan hukum itu. Selain itu, Savigny juga beranggapan bahwa legal seat itu
harus di tetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat
kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuan titik-titik taut. Jika
tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan,
system hukum dari tempat itulah yangbakan digunakan sebagai lex causae.